Korupsi

CERPEN AFFAN SAFANI ADHAM

Ya, Agung masih ingat kejadian itu. Sangat ingat sekali. Saat dipanggil pimpinannya untuk membahas masalah proyek pembangunan sebuah ruko yang sedang berlangsung. Sebagai bawahan Agung hanya berniat untuk membantu pimpinannya dalam menyukseskan proyek itu.

“Saya minta dana dari pemberi proyek ruko itu bisa diserahkan kepada saya setelah diberikan,” jelas Arbain, pimpinan Agung.

“Siap, Pak!”

“Saya ingin memberikan yang terbaik bagi pemberi proyek itu.”

“Biar mereka bahagia dan bisa dijadikan sebagai modal dagangan,” kelakar Agung.

“Kebetulan saya punya sahabat yang memiliki toko bahan bangunan yang berkualitas,” lanjut Arbain dengan nada penuh heroik.
***
Kegundahan hati Agung mulai melanda. Tanda-tanda ketidakberesan proyek itu mulai terlihat saat pembangunan ruko itu tengah berlangsung.

Pemberi proyek memperkirakan kualitas bahan bangunan itu amat jelek. Bahkan, jenisnya pun amat tidak sesuai dengan peruntukannya.

Keluhan pemberi proyek mulai bergema. Lalu menjadi konsumsi publik. Seolah-olah sudah menjadi narasi umum dalam setiap pertemuan warga masyarakat.

Kemudian persoalan itu disampaikan Agung kepada pimpinannya. Tapi, Agung malah disalahkan karena tidak bertanggungjawab.

“Kamu saya beri amanah ya harus mempertanggungjawabkan!” kata Arbain dengan nada keras.

Agung hanya terdiam. Membisu seribu bahasa. Suasana ruang kerja pimpinan itu pun hening. Sehening hati Agung yang sedang galau dan resah.

Kegundahan hati mulai dirasakan Agung ketika aparat hukum menyidik kasus tersebut. Saat diperiksa, Agung hampir pingsan. Sementara, pimpinannya seolah-olah tidak bersalah. Cuci tangan atas permasalahan yang menimpa bawahannya.

Lihat juga...