“Oh iya memang ada, pemilik kontrakan di pojok kehilangan laptop dan handphonenya,” sambil menunjuk ke arah kontrakanku. Aku segera masuk karena enggan mendengarkan omelan tetangga yang terus mengeluh karena harus bayar uang iuran.
“Percuma saja bayar keamanan, kalau tiap hari ada yang kemalingan!”
Si petugas keamanan tampaknya menahan diri untuk berdebat, ia hanya menghela nafas dan tidak berkomentar apa pun. Hari ini, ia tidak membawa pulpen empat warna yang biasa ia gunakan untuk melampiaskan kekesalannya, ia hanya menggunakan pulpen berwarna hitam yang ia selipkan di daun telinganya.
Uang kemananan memang tidak seberapa, hanya 10.000 per pintu kontrakan, itu pun hanya sebulan sekali. Bukan tanpa alasan mereka terus mengomel pada petugas keamanan. Sejak pandemi melanda, pencurian semakin merajalela.
Sudah banyak penghuni kontrakan kehilangan barang-barang berharga. Namun ketika dimintai pertanggungjawaban, petugas keamanan itu hanya mencari-cari alasan dan terkesan menyalahkan si korban yang tidak menyimpan barang dengan benar. Akhirnya orang-orang pun mulai merasa jengkel dan terus mengeluh padanya.
Begitu pun denganku, sebenarnya aku ingin melampiaskan semuanya, tapi pada siapa? Petugas keamanan itukah yang setiap bulan hanya meminta uang keamanan tapi kerjanya tidak becus karena tidak bisa menjaga keamanan kompleks.
Tentu saja ia akan berdalih ini dan itu untuk menjaga harga dirinya. Jadi, aku hanya diam saja, ketika pagi-pagi penjaga keamanan itu meminta iuran bulanan sebesar 10.000 padahal ia tahu malamnya aku baru saja kemalingan.
Aku membenamkan diri di kasur untuk melupakan sejenak beban hidupku. Perdebatan antara tetanggaku dan penjaga keamanan itu masih samar terdengar. Aku mencoba menutup mataku perlahan, namun tak lama pintuku diketuk.