Namun, aku cukup menghargainya karena dia satu-satunya orang yang selalu menyapa dan peduli dengan apa yang terjadi pada warga kompleks meski sering diacuhkan.
Ia pun selalu tersenyum dan menyapaku ketika tidak sengaja berpapasan di jalan. Mungkin dia mencoba ramah untuk mengakrabkan diri agar tidak canggung saat menagih uang iuran keamanan atau mungkin pada dasarnya ia memang orang yang ramah.
“Memang lapor polisi juga percuma karena kasus kecil seperti ini tidak akan mungkin ditanggapi,” tambahnya lagi.
Aku pikir ia pun sama denganku, krisis kepercayaan terhadap polisi. Lapor polisi kemungkinan berhasilnya sangat kecil karena tidak ada jejak yang ia tinggalkan, tidak ada CCTV dan tidak ada saksi.
Mencari si maling hanya seperti mencari jarum dalam jerami saja. Apalagi, kasus-kasus besar saja banyak yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak ditanggapi sebelum viral di media sosial. Jika melihat kasusku yang tergolong kecil, rasanya tidak mungkin kasusku juga bisa terselesaikan.
Ia bergegas pamit dan memintaku segera melapor kepadanya jika terjadi sesuatu. Ia pun berlalu sambil melambaikan tanganya. Aku hanya mengangguk tanpa mengatakan sepatah kata pun untuk menanggapinya. Kemudian ia mulai mengetuk satu per satu pintu kontrakan untuk meminta uang keamanan.
Aku enggan menanggapi apa pun yang ia utarakan. Saat ini, hatiku masih sangat kesal. Membayangkan kembali bagaimana aku mengumpulkan uang-uangku dan tabunganku yang sekarang digondol oleh maling, membuatku sangat marah. Kini aku tidak punya apa pun, bahkan pekerjaan.
Dua hari lalu aku kehilangan pekerjaan, imbas dari pandemi yang membuat perusahaan harus memangkas beberapa pekerja agar tetap bertahan di tengah himpitan ekonomi yang belum pulih.