Sekarang, aku kehilangan telepon genggam, uang tabungan yang baru kuambil dan barang berharga lainnya. Aku tidak bisa kembali ke kampung tidak bisa juga bertahan hidup di kota tanpa pekerjaan.
Semua barang berharga yang seharusnya jadi tabungan untukku bertahan hidup, raib diambil si maling. Kalau sudah begitu, aku harus menyalahkan siapa? Aku benar-benar sangat marah.
Bekerja memang bukanlah hal yang mudah, semua tekanan dimulai sejak bangun tidur. Aku bangun lebih pagi daripada orang lain dan bersiap diri menuju tempat kerja.
Terjebak di kemacetan berjam-jam dan menghirup polusi udara dari asap cerobong pabrik serta kendaraan bermotor adalah makanan sehari-hari.
Sampai di tempat pekerjaan aku harus berdiri selama berjam-jam dan tetap fokus agar tidak terkena mesin press yang jika lengah sedikit saja akan membuatku cacat seumur hidup karena kehilangan tangan.
Bahkan ketika aku ingin buang air kecil, aku harus menunggu teman yang senggang karena akan mengacaukan jalannya pekerjaan ke yang lain.
Menahan diri untuk buang air kecil sungguh menyiksa karena konsentrasi pun akan terpecah dan mesin press yang sewaktu-waktu akan melahap tanganku membuat kengerian yang tidak ada bandingannya.
Keresahan demi keresahan selalu menghantuiku ketika bekerja. Namun itu masih lebih baik, kekhawatiranku hanya seputaran pekerjaan saja. Sedangkan sekarang ketika aku tidak punya pekerjaan, kekhawatiranku terus melebar ke berbagai hal.
Stres seorang pekerja masih lebih baik daripada stres seorang pengangguran. Begitu kira-kira yang bisa aku pelajari sekarang.
“Saya dengar ada yang kemalingan lagi?” tanya tetanggaku kepada petugas keamanan itu.