“Di mana dia?”
“Dia pemalu. Dia jarang mau keluar rumah kalau tidak terpaksa. Dia lebih suka berada di dalam rumah, membersihkan benda-benda berharga milik ayahku.
Dia merasa sangat berterima kasih kepada ayahku karena telah mengubah hidupnya, menyelamatkannya dari lembah hitam tempat orang-orang jahat bersarang.”
“Hebat sekali ayahmu.”
“Selain itu, ada juga Bibi Maria. Dia mengurus urusan dapur. Urusan luar rumah juga dia yang melakukannya.”
Suara azan Asar terdengar dari masjid di ujung desa. Mendengar itu, aku segera bangkit dan hendak pergi.
“Maaf, ya. Besok aku akan datang lagi. Aku harus mengaji. Kalau tidak, aku akan kena marah ibuku.”
“Aku mengerti. Sampai jumpa besok siang.”
“Sampai jumpa besok siang.”
Aku pergi berlari menuju tempat aku masuk biasanya. Setelah keluar dari sana, aku segera pergi menuju rumah agar tidak terlambat untuk mengaji.
***
Malam hari aku terbangun dari tidurku karena mendengar deru mobil dan getaran yang dihasilkannya. Mobil-mobil besar itu berjalan melintasi jalan di depan rumahku entah menuju ke mana.
Begitu pagi tiba, aku mendapatkan kabar mengejutkan. Rumah kompeni dan beberapa rumah di sekitarnya akan diratakan. Sebuah mal besar akan dibangun di sana.
Orang-orang yang kehilangan rumahnya tidak sedikit pun merasa sedih karena mendapatkan uang kompensasi yang lumayan besar. Mereka juga bersyukur bahwa rumah kompeni itu akan dirobohkan juga, mereka tidak perlu lagi melihat penampakan-penampakan menakutkan dan lolongan anjing di rumah itu.
Ketika aku berlari ke sana, sebuah garis polisi dibentangkan mengeliling area yang bangunan-bangunannya akan dirobohkan. Ketika aku hendak menerobos, suara garang dari seorang laki-laki menghantamku.