Kamu pandangi poster atau gambar apa pun yang merupakan iklan film apa yang sedang dan akan dipertontonkan kepada khalayak.
Otakmu berpikir keras, bagaimana cara menyisihkan uang supaya dapat menonton film yang kamu perkirakan bagus dan seusiamu bisa dengan mudah mendapatkan karcis meskipun membeli dengan cara berdesak-desakan.
Maka, hari-harimu kemudian, di samping mengikuti pelajaran sekolah adalah dipenuhi rencana menonton film. Kadang-kadang sepulang sekolah, meskipun belum punya uang, kamu sempatkan berhenti melihat-lihat deretan gambar film di kaca yang tertutup.
Menikmati pesona hadirnya artis film di depanmu. Godaan menonton film lebih besar ketimbang uang yang kamu miliki kamu gunakan untuk membeli buku. Di kotamu hanya beberapa saja toko buku yang buka dan yang paling terkenal adalah tak jauh dari bioskop itu di bawah sebuah pohon yang rindang.
Begitulah kamu tumbuh di sebuah kota kecil yang dulu cukup sepi kini siap digempur keramaian tersebab adanya bandara. Jika pun kini kamu mengulang peristiwa itu, mendatangi lagi tempat bioskop tersebut, tentu saja sudah berubah.
Kamu bisa saja punya perasaan yang sama dengan masa kecilmu jika tempat yang kamu datangi di masa kini itu masih berwujud bioskop. Tapi, pastilah itu mustahil.
Sudah lama bioskop itu tutup, bangkrut. Tapi yang pasti orang kini sudah tak perlu lagi mendatangi bioskop untuk berbahagia. Apalagi di masa kini kamu juga sudah bisa berbahagia di rumah saja.
Hal yang paling membahagiakanmu di masa kini ketika keluar rumah justru ketika mendatangi pasar tradisional. Memburu kuliner ala desa yang relatif alami, misalnya lotek, pecel, kupat tahu, buntil, sayur bayam, sayur kangkung, sayur kenikir, sayur kelor, burjo kacang hijau, sayur jamur, sayur brokoli, sayur sawi, dan lainnya.