“Ini masih ada larangan mudik karena Corona.” Jawaban yang sama sekali menjengkelkan bagiku. Sebenarnya urusan Corona bisa disiasati, tetapi pekerjaan sangat sulit dikelabui.
Pekerjaan sudah menyandera kami, begitu susah mencari waktu yang pas. Aku dan istriku sama-sama bekerja.
***
“I…i..i.. ibu mana, Bah?”
“Ibu di sekolah, Nak. Lagi kerja.”
“Kerja cari uang untuk beli jajan.” Di usia dua tahun, anakku sangat baik mengulang-ulang kalimat ini. Fasih sekali.
“Ef sekarang sekolah juga, ya?”
Anakku diam. Aku bergegas menyiapkan segala kebutuhan dan bekal makanan setidaknya hingga siang nanti.
Meski tidak dititipkan setiap hari, waktu-waktu tertentu ketika aku harus ke kampus atau ada kuliah online, Ef selalu kutitipkan ke sebuah lembaga Kegiatan Belajar, tiga kilo meter dari rumah.
Keputusan memitipkan Ef sudah kami ambil sejak usianya menginjak 12 bulan karena istriku harus masuk kantor.
Istriku berangkat kerja pukul 06:00. Ef bisa bangun pukul 07:00 dan bahkan sering kesiangan. Tapi saya biarkan dia tidur sepuasnya dan bangun dengan sendirinya.
Seiring waktu dia bertumbuh dan mengerti, aku merasa semakin tidak tega menitipkan Ef di sekolah. Sorot matanya seperti mengunci langkahku.
Aku mungkin sangat sentimental dan bahkan konservatif: seorang anak harus tumbuh bersama orang-orang tercinta di sekitarnya. Keluarga.
“Ef bareng Bu Guru dulu, ya Nak. Babah mau pergi ke kampus?”
“Babah sama Ef aja. Jangan pergi.”
Matanya sedikit merajuk. Tapi aku harus pergi. Dan aku tetap pergi dengan mata yang remang. ***
(Malam Ramadan 1442, 01:41 WIB, untuk Eftalya Ruhum)
Bernando J. Sujibto, dosen dan peneliti kawasan Turki dan Timur Tengah. Alumni pascasarjana di Selcuk University, Turki. Kini mengajar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Salah satu kumpulan puisinya Rumbalara Perjalanan (Diva Press, 2017).