Pergi

CERPEN BERNANDO J. SUJIBTO

Ocehan anak-anak kecil kelas dua SD itu bergema di kepala. Obrolan mereka seperti mengiris gendang telinga, lalu menusuk ke dalam hati. Tapi mereka malah tertawa cekikikan sambil mainan selang air yang dipakai memenuhi bak karet untuk melayarkan perahu daun bambu.

“Nanti kalau kalian sudah besar, sudah dewasa, menjadi orang tua, pasti akan pergi-pergi juga,” jawabku sambil memijat lengan ibuku yang sudah keriput.

“Kasihan orang tua ya, harus pergi-pergi terus….”

Ocehan mereka kembali menghantamku. Tanganku sedikit gemetar, tapi kutahan pelan sembari meremas lengan ibuku yang tinggal kulit dan tulang. Mataku seketika remang. Ibuku sudah tua, aku menarik napas dalam-dalam.

“Ibu ikut saya tinggal di Jogja. Di sini cuma sama Mbak. Kakak masih di Arab Saudi….” Ini kalimat permintaan yang kuulang-ulang: lewat telepon dan berbicara langsung.

“Apa mungkin aku bisa piara sapi di Jogja?” Ini pertanyaan awal ketika kuminta kesediaan ibu untuk tinggal bersamaku di masa tuanya.

Tapi pertanyaan ini belum bisa kuiyakan karena rumahku di Jogja bukan di kampung lagi. Aku hidup bersama anak semata wayang di tengah kota. Memelihara sapi adalah perkara yang rumit.

“Aku tidak bisa hanya berdiam, menunggu takdir. Hidupku adalah kerja. Sawah dan ladang tidak akan rela jika kutinggalkan. Sudahlah, aku di sini saja. Kamu punya alasan untuk terus pulang, menjengukku atau menziarahiku.”

Buliran air mata jatuh. Wajah anakku tiba-tiba mengambang di antara remang mataku. Anakku seperti menitip senyum.

“Anakmu bawa mudik ke sini. Sudah berusia dua tahun lebih belum pernah kucubit cucuku yang satu itu.” Suara ibu serak dan bergetar.

Lihat juga...