Misalnya si Wandi—paman jauh, dua pupu dari ibuku—sudah lima tahun meninggalkan kampung tapi tidak ada kabar mengirim uang buat Hasan, anaknya. Hasan yang sepantaran denganku selalu minta jajan yang kubeli di warung madrasah.
Aku tidak pernah melihat Hasan membeli jajanan enak-enak. Begitu juga dengan si Mardi, ponakan sepupu ibuku. Aku sampai lupa seperti apa wajahnya sekarang.
Yang paling aku ingat adalah suara bergelegar, geraham menonjol dan mata yang memerah ketika dia mengerjaiku karena aku suka menjewer anaknya, Hasanah.
Hasanah juga kesusahan bayar uang imtihan, acara tasyakuran akhir tahun dan kenaikan kelas di madrasah ibtidaiyah.
“Hingga lima tahun silam, tepat ketika usiamu masih lima tahun, saya biasa pergi meningggalkan kampung, ke kota-kota, bahkan pernah juga merantau ke Malaysia.” Tangan Obha’ mengangkat pecut dan dikibaskan pelan ke samping leher kuda.
Kuda seketika melonjak. Obha’ sudah paham medan: jalanan yang becek dan berlumpur membuat kami seperti menaiki perahu di tengah hantaman ombak di musim angin dari Kalianget ke pulau Giligenting.
“Orang tua memang tidak tahan berlama-lama di kampung ini. Begitu juga anak-anak muda yang mulai paham uang. Tenaga mereka yang kuat dimanfaatkan untuk bekerja lebih giat, mengumpulkan uang.”
Tangan kiri Obha’ menarik tali kiri yang mengikat ke leher kuda, dan seketika kuda kami belok kiri dengan lengkingan suara yang nyaring di antara semak dan pohon liar.
Mengumpulkan uang. Aku membayangkan berapa banyak uang yang Obha’ kumpulkan dari bepergian ke kota dan merantau ke luar negeri.
Enak juga menjadi orang tua bisa mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Seketika pikiran-pikiranku seperti terhenti oleh semburan asap rokok Oepet berhambur di atas ubun-ubunku.