Aku tidak bisa menghindar karena posisi dudukku berada di depan. Pelana kayu yang sebenarnya untuk porsi bokong orang tua dibikin agak longgar sehingga badanku yang kecil ini bisa duduk dengan tambahan kain goni, agar dudukku lebih kuat dan tidak goyang.
“Kamu kalau sudah besar dan menjadi orang tua juga akan pergi jauh, bahkan ke luar negeri.” Suara Obha’ tiba-tiba berhenti digantikan dengan bunyi lidah yang ditarik ke dalam, “Kereet….kereeet …kereeet…” sembari mengencangkan kedua tali.
Kuda berhenti. Obha’ memintaku diam di atas kuda dan kedua tali itu ditambatkan ke sebuah pohon liar di pinggir jalan.
Meski sudah biasa begini, aku tetap ketar-ketir dan takut kalau kuda terkejut, aku bisa bisa dilemparkan.
Sosok Obha’ sudah lenyap di balik pohon dan semak-semak. Orang tua buang air kencing harus bersembunyi. Berbeda denganku, yang tinggal turun dari pelana kuda, sedikit ngacir, lalu mengangkat sarung dan seeeerrr….. selesai.
Kalau aku sudah besar, menjadi orang tua kelak akan sering pergi ke kota, atau bahkan keluar negeri. Lalu bagaimana adik-adikku, keponakan-keponakanku, dan anak-anakku?
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kelak ketika aku harus pergi meninggalkan kampung ini, kerja mengumpulkan uang, seperti Obha’, paman dan tetangga-tetangga kampung.
***
“KENAPA jarang pulang, Kak?” tanya Ila, sepupuku, sembari asyik bermain perahu-perahuan dari daun bambu bersama Reza, keponakanku. Mereka berusia sepantaran.
“Ya, paman di sini ajalah bermain dengan kita. Katanya sudah lulus kuliah….” sambar Reza.
“Ngapain pergi-pergi terus…”
“Bibi Rom nikah dengan orang Jawa, Om Kholid kuliah di Jakarta, Kak Aziz kerja di Malang. Bapakku juga tidak pulang-pulang di Arab Saudi….”