Harga Murah, Trik UMKM Bidik Konsumen Berdaya Beli Rendah
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
“Saat ini banyak warga ingin tetap memiliki produk yang diinginkan tapi tetap dengan harga murah,” cetusnya.
Ia mengaku, konsekuensi dari menjual barang berharga murah akan berlaba tipis. Namun keberadaan konsumen rutin sebutnya ikut membantu kelancaran distribusi.
Harga yang rendah terjangkau konsumen sebutnya akan meningkatkan daya beli. Sejumlah perabotan yang bisa digunakan berulang sebutnya banyak dipilih masyarakat agar tidak banyak pengeluaran untuk membeli.
Laba minimal jadi alasan Sutrisno menjual dengan sistem obral. Pedagang di pasar Bambu Kuning itu mengaku menjual produk alas kaki berupa sendal, sepatu dan kaos kaki.
Pangsa pasar masyarakat berdaya beli rendah membuat rentang harga terjangkau. Jenis sendal, sepatu yang dijual hanya berkisar Rp5.000 hingga Rp15.000 per pasang. Menjual produk berharga murah sebutnya tidak lantas menurunkan kualitas.
“Setiap hari selama Ramadan saya bisa menjual ratusan pasang sendal, sepatu, kaos kaki dengan tetap laba meski tidak maksimal,” tuturnya.
Strategi untung atau laba minimal namun penjualan meningkat menjadi indikator pangsa pasar terbuka.
Ia menyebut konsumen dengan daya beli rendah cukup banyak saat pandemi. Memperhitungkan kualitas dengan harga murah membuat segmen konsumen berdaya beli rendah bisa menang pada harga yang ditawarkan. Tanpa keluarkan harga mahal, warga bisa membelikan produk baru bagi keluarga.
Strategi menyasar konsumen berdaya beli rendah sebut Sutrisno bukan berarti ia tidak memiliki laba. Ia membeli barang sistem kodian yang dijual satuan.
Dampak positif dari penjualan harga murah ia bisa mendapat omzet rata-rata Rp1 juta per hari. Jumlah itu lebih tinggi dari sebelumnya hanya Rp600 ribu per hari. Peluang jelang Lebaran dimaksimalkan olehnya dengan memberi diskon lebih banyak.