Budidaya Cabai Pola Tumpangsari Minimalisir Risiko Serangan OPT

Editor: Makmun Hidayat

Marwiah, penanam cabai rawit di Desa Kelawi, Kecamatan Bakauheni mengaku menerapkan pola tumpangsari. Lahan tanaman pisang dan pohon buah sebutnya jadi tempat untuk budidaya cabai. Ia mengaku menerapkan pola tumpang sari untuk budidaya berkelanjutan. Saat harga alami kenaikan signifikan dan penurunan ia masih memiliki stok untuk dijual.

“Menanam cabai dengan pola tumpangsari bisa membuat petani memiliki stok terutama jenis cabai caplak, rawit,” ulasnya.

Kedua jenis cabai itu bisa berproduksi hingga waktu enam bulan sejak tanam. Saat tanaman menurun produksi ia melakukan proses penyulaman dengan tanaman baru. Saat harga komoditas cabai merangkak naik hingga Rp40.000 di pasar tradisional di Lamsel ia bisa memasok pedagang. Tingginya permintaan sebutnya bisa dipenuhi dengan penanaman sistem tumpang sari.

Ardi Yanto, petani di desa yang sama menyebut komoditas cabai tetap jadi harapan bagi petani. Pola tanam yang menggunakan kearifan lokal dipertahankan untuk aspek ekologis dan ekonomis. Secara ekologis keberadaan OPT melalui sistem PHT bisa dilakukan dengan tanaman pencegah hama. Ia juga melakukan penanaman bibit tanaman cabai yang sudah nonproduktif.

Pola tumpangsari sebut Ardi Yanto diterapkan dengan menanam pisang, pepaya dan alpukat. Penerapan sistem tumpang sari memungkinkan ia bisa mendapat hasil panen pada beberapa jenis komoditas. Selain cabai rawit, caplak memasuki awal April buah alpukat miliknya mulai bisa dipanen. Hasil panen alpukat dan cabai dijual ke pasar untuk kebutuhan saat Ramadan.

Lihat juga...