Budidaya Cabai Pola Tumpangsari Minimalisir Risiko Serangan OPT

Editor: Makmun Hidayat

LAMPUNG — Kebutuhan akan tanaman cabai rawit, caplak, keriting dan merah besar di pasaran melonjak jelang Ramadan. Sebagian petani di Lampung Selatan memilih menerapkan budidaya cabai pola tumpangsari.

Wayan Reka, petani di Desa Bangunrejo, Kecamatan Ketapang menyebut budidaya cabai pola tumpangsari kurangi risiko serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).

Harga cabai yang fluktuatif di pasaran kadang berimbas pada kerugian petani. Sebagai solusi ia memilih budidaya cabai dengan tanaman kencur, kunyit, lengkuas dan terong. Sebagian lahan juga ditanami dengan jagung manis yang menjadi tanaman untuk inang pemangsa OPT. Tanaman jagung manis sebutnya berpotensi jadi repelen (penolak) terhadap hama kutu kebul.

Wayan Reka, petani di Desa Bangunrejo Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan membersihkan lahan tanaman cabai merah besar, Senin (12/4/2021). -Foto Henk Widi

Masa tanam dengan curah hujan masih berlangsung berimbas potensi kerontokan bunga dan buah. Namun dengan keberadaan tanaman penaung jenis pisang membantu mencegah rontok. Penanganan hama terpadu (PHT) dilakukan olehnya memakai sistem mulsa plastik. Ia juga membuat perangkap lalat buah dari botol bekas air minum meminimalisir kerusakan buah.

“Biaya produksi untuk budidaya tanaman cabai dengan sejumlah tanaman lain akan menekan biaya produksi untuk pembelian insektisida, pestisida dan bahan kimia yang digunakan untuk mengusir serangan OPT berdampak pada pengurangan produksi tanaman,” terang Wayan Reka saat ditemui Cendana News, Senin (12/4/2021).

Hasil panen cabai merah yang sebagian telah dipanen sebut Wayan Reka memiliki harga stabil. Jenis cabai merah dijual pada level pengecer mencapai Rp35.000 per kilogram. Jenis cabai rawit yang semula sempat mengalami harga mencapai Rp100.000 turun menjadi Rp55.000 per kilogram. Harga yang fluktuatif disebabkan pasokan stabil dari petani.

Lihat juga...