Masyarakat Keluhkan Rusaknya Lingkungan di Pesisir Bakauheni
Editor: Koko Triarko
Aktivitas warga pesisir, sebutnya, masih kerap dilakukan dengan memancing. Sebagian nelayan yang mengandalkan muara sungai untuk menyandarkan perahu harus memilih lokasi lain. Tersisa sedikit vegetasi mangrove dari semula belasan hektare sepanjang pesisir Tanjung Tuha hingga ke Pegantungan. Meski sebagian telah kembali tumbuh, potensi terjadi abrasi membahayakan permukiman.
Lukman dan Sahuri, pencari ikan di pesisir Bakauheni, menyebut penyebab kerusakan lingkungan dominan faktor manusia. Pembangunan tanpa memikirkan aspek lingkungan dan keberlanjutan membuat pantai kerap diubah dari fungsi awal. Rimbunnya tanaman mangrove yang telah tumbuh alami puluhan tahun, rusak hanya dalam waktu beberapa bulan.
“Warga yang akan mencari ikan mengalami kesulitan karena sebagian rumpun mangrove merupakan lokasi persembunyian ikan,” cetusnya.
Mencari ikan dengan teknik menjaring dan memasang bubu, masih menjadi cara yang dipertahankan warga. Lukman mengaku kerap menambatkan perahu pada akar pohon bakau. Selain itu, pengikatan jaring memanfaatkan tanaman bakau. Namun sejak sebagian tanaman bakau lenyap, ia kesulitan. Saat musim angin timur dan selatan, kerusakan di permukiman oleh angin kencang makin terbuka.
Perubahan lingkungan pesisir pantai Bakauheni, juga mempengaruhi sistem pertambakan tradisional setempat. Sulistio, petambak udang vaname, menyebut proses pembongkaran tanaman mangrove terjadi sejak awal 2019. Sebelumnya, mangrove terlihat menghijau di wilayah tersebut. Namun, penimbunan dilakukan untuk tempat sandar perahu oleh sebuah perusahaan.
“Saluran irigasi untuk memasok air di lahan tambak, ikut terganggu. Semula, keberadaan mangrove bisa menjadi penyaring kondisi air. Namun, kini air laut langsung mengalir ke kanal yang telah disediakan. Perubahan tersebut mempengaruhi tingginya kadar salinitas air pada tambak. Namun, nasi terlanjur menjadi bubur, mangrove telah rusak, “ kata Sulistio.