Menyoal Kegemaran Warga Jakarta Tanam Sayuran

JAKARTA – Budi daya sayuran memang sudah banyak ditekuni warga Jakarta selama pandemi Covid-19. Mulai dari komunitas, kalangan akademisi, bahkan karang taruna sudah banyak bertanam sayuran, bahkan di pekarangan dan atap rumah pun sudah dimanfaatkan untuk budi daya sayuran dengan sistem hidroponik.

Namun yang menjadi pertanyaan saat ini, apakah kegemaran bertanam sayuran ini sejalan dengan kegemaran masyarakat mengonsumsi sayuran?

Bila keduanya bisa berjalan beriringan, dapat dipastikan petani baik yang ada di perkotaan maupun di perdesaan akan merasakan manfaatnya dari segi ekonomi. Faktanya ternyata sebaliknya.

Konsumsi sayuran masyarakat Indonesia masih sangat rendah, terlihat dari data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/ FAO) yang menyebutkan hanya 180 gram per kapita per hari, padahal seharusnya 400 gram per kapita per hari.

Sejauh ini, kebanyakan masyarakat masih menganggap apa yang disebut sayuran itu adalah bayam, kangkung, packoy, sawi, wortel, timun, kacang panjang, paria, tomat dan sebagainya. Namun, ternyata melon, semangka, jagung manis, labu, kentang juga termasuk sayuran.

Karenanya, bila konsumsi nasi sebagai sumber karbohidrat dapat digantikan dengan sayuran seperti pada kentang, labu, jagung. Maka, target 400 gram per kapita per hari dapat tercapai. Bahkan, di sejumlah negara, warganya dengan kesadaran untuk hidup sehat lebih memilih untuk mengonsumsi sayuran.

Kondisi demikian seharusnya bisa dilaksanakan di Indonesia, mengingat produksi hortikultura sayuran di Indonesia sangat mencukupi.

Persoalannya, kesadaran masyarakat sejauh ini masih rendah, sayuran dianggap sebagai makanan pendamping saja.

Lihat juga...