Petani di Lamsel Terpaksa Panen Dini Akibat Wereng
Editor: Koko Triarko
Suwarna menyebut, normalnya seperempat hektare lahan sawah mendapat gabah kering panen (GKP) 3 ton. Imbas hama wereng, terjadi penurunan produksi berlipat. Produksi menurun imbas bulir padi belum waktu panen, menurunkan kualitas gabah. Sebagian gabah kosong, mengurangi bobot dan akan berimbas pengurangan berat timbangan saat dijual sistem timbangan.
Sebelum proses pengeringan tingkat l, kehilangan bulir padi makin besar. Sebagian petani memilih melakukan penjualan gabah dengan karungan, meski kadar air masih tinggi. Per kuintal GKP, dari petani dijual seharga Rp420 ribu atau Rp4.200 per kilogram. Sebagian GKP disimpan untuk stok pangan hingga panen berikutnya.
Subroto, petani di desa yang sama juga memilih panen lebih cepat. Meski padi bisa dipanen usia 100 hari, ia memilih memanen usia 90 hari. Langkah pemanenan dini dilakukan untuk memudahkan proses pemanenan dengan mesin. Hama wereng yang merusak padi, akan pindah ke padi yang belum dipanen dalam waktu cepat.
“Dalam waktu satu hari, jika ada lahan sawah sudah dipanen, maka hama akan menyerang padi yang masih tegak,” papar Subroto.
Sistem panen yang semula memakai gepyok manual mulai menggunakan dos. Cara tersebut dipilih untuk mempercepat waktu dan efisiensi biaya. Meski sebagian bulir padi masih menjelang kuning dan hijau, panen dini mnjadi keputusan yang berat bagi petani seperti dirinya. Hama wereng berimbas panen dini, lebih menguntungkan dibanding saat penghujan saat padi roboh.
Lahan seluas setengah hektare, sebutnya, akan menghasilkan GKP sekitar 6 ton. Dalam bentuk karungan, diprediksi bisa mencapai 30 karung.
Ia menyebut, sistem bagi hasil dengan pemilik alat dos saling menguntungkan. Pemilik alat dos akan mendapat satu karung untuk setiap sembilan karung yang dihasilkan. Meski biaya ekstra, panen dini dilakukan agar kerugian bisa ditekan.