Setelah Prabowo masuk ke dalam pemerintahan maka tidak ada lagi oposisi di era pemerintahan Jokowi jilid dua. Apalagi beberapa orang ketua umum partai menjadi menteri yang berarti mereka adalah pembantu presiden. Sedangkan anggota DPR adalah perwakilan partai yang tunduk pada ketua umum jika tidak ingin di-PAW (Pergantian Antar Waktu).
Dengan dukungan lebih dari delapan puluh persen kursi di DPR maka apa pun yang diajukan atau diminta oleh pemerintah dengan mudah akan mendapat persetujuan DPR. Tidak ada lagi check and balance dari lembaga legislatif ke eksekutif.
Misalnya, dengan sangat mudah Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Keuangan, disahkan menjadi Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 2020, meskipun mendapat banyak penolakan dari masyarakat, dan kini UU ini sedang diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Juga mengenai Randangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), nyaris lolos menjadi UU, padahal mendapat penolakan keras dari masyarakat. Setelah dua ormas Islam terbesar yakni Muhammadiah dan NU serta Majelis Ulama menolak RUU ini—dibarengi demo besar-besaran yang dilakukan berbagai ormas di depan Gedung DPR, barulah DPR bersikap menunda (bukan membatalkan) membahas RUU tersebut.
Tentang Perppu No. 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang (UU), padahal UU ini mengamputasi fungsi anggaran DPR karena disebut dalam UU ini: “Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa untuk mengubah postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara, diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah.”