Seperti mudah diduga, yang berada dalam “posisi” mendukung pemerintah—beberapa orang yang orangnya itu-itu juga—mulai bereaksi pada pra deklarasi KAMI. Ada yang menyebut ini adalah barisan sakit hati karena diberhentikan dari pemerintahan, gagal move on, dan sebagainya.
Memang Dr. Said Didu diberhentikan dari Komisaris BUMN. Pada waktu ditanyakan alasan pemberhentiannya kepada Menteri BUMN, jawabannya karena dia tidak disukai.
Atau Dr. Refly Harun diberhentikan dari komisaris karena menyampaikan hal-hal yang tidak bersesuaian dengan pemerintah atau mengeritik.
Sedangkan Prof. Dr. Din Syamsudin minta berhenti bukan diberhentikan. Tokoh selebihnya tidak pernah “dirawat” oleh pemerintah karena itu tidak layak disebut “sakit hati”.
Kata-kata “khilafah”, “makar”, “intoleran”, tidak terdengar dari mulut para posisi karena gerakan ini didukung oleh tokoh-tokoh dari multi agama, etnis, suku.
Tidak terbantahkan bahwa dengan masuknya Prabowo Subianto yang adalah ketua umum Partai Gerindra ke pemerintahan Jokowi, kemudian diikuti beberapa partai ikut bergabung, maka yang tersisa di luar pemerintahan (oposisi) tinggal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat, yang masing-masing memiliki perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 8,2% dan 7,7%, total 15,9%.
Jumlah persentase kedua partai itu tidak mencukupi untuk mencalonkan presiden dan wakil di pemilihan presiden pada Pilpres 2024 (presidential threshold 20%), hingga sangat mungkin pada (Pilpres) tahun 2024 hanya ada calon tunggal, persis sama dengan calon tunggal di pemilihan wali kota (Pilwakot) Solo pada Desember nanti (kecuali ada calon independen).