Celana Cingkrang

OLEH BUSTAMI RAHMAN

Nah, orang yang bercelana cingkrang demikian pula. Pasti ada latar belakang kebutuhannya. Saya mengamati dan mensurvei kecil-kecilan terhadap orang yang bercelana cingkrang, memperoleh pandangan mereka sebagai berikut. Pertama, mereka menganggap itu sunah. Kedua, mereka menganggap itu praktis. Yang manakah antara sunah dan praktis yang paling dominan, masih bersifat variabel. Mungkin sekali ‘sunah’ juga dikenakan kepada simbol yang lain seperti memelihara janggut dan lain sebagainya.

Menurut pengamatan ini pula (survei dan self looking glass),  tidak mudah untuk memutuskan bercelana cingkrang itu. Pertama karena pandangan orang terhadap mereka yang dianggap ekstrem itu. Juga yang lebih berat menurut mereka adalah menanggung beban ‘sunah’, karena orang yang bercelana cingkrang mestilah dipandang juga sebagai muslim yang seharusnya bersikap dan berkelakuan baik, salat tepat waktu, suka ke masjid dan lain sebagainya. Tentu juga tidak memungkinkan bagi mereka yang mengemban sunah itu untuk pergi plesir ke tempat-tempat maksiat, berjudi dan minum minuman keras dan lain sebagainya.

Bagaimanakah pandangan sampel orang bercelana cingkrang terhadap orang muslim yang tidak bercelana cingkrang? Ternyata mereka tidak menaruh perhatian khusus dan menganggapnya itu sebagai pilihan setiap orang. Bagaimana pula pandangan orang muslim yang tidak bercelana cingkrang terhadap saudaranya yang bercelana cingkrang?

Pada awalnya mereka merasa aneh, tetapi lama kelamaan kebiasaan bercelana cingkrang menjadi pandangan biasa. Bahkan beberapa pandangan mengatakan boleh juga ditiru untuk memendekkan celana dalam makna praktis, tidak dalam makna yang religius. Dengan sedikit pendek ukuran celana akan lebih memudahkan untuk berwudhu dan sedikit aman di kala jalanan basah karena hujan.

Lihat juga...