DI TENGAH pandemi Covid-19 yang mengakibatkan ribuan orang meninggal dunia dan puluhan ribu terpapar, di tengah lesunya perekonomian akibat pandemi ini —bukan tidak mungkin menjadi krisis ekonomi— malah ruang publik dibikin gaduh oleh inisiatif DPR mengajukan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Publik gaduh berkeberatan beberapa hal dalam rancangan UU tersebut. Pertama, karena Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang larangan ajaran Komunis/Marxisme–Leninisme, tidak dimasukkan dalam konsideran RUU HIP.
Kedua, tentang pasal 7 dari rancangan UU itu yaitu mengenai Pancasila diperas menjadi Trisila, dan Trisila diperas menjadi Ekasila. Rancangan pasal 7 seperti mengulang perdebatan yang sudah selesai tentang UUD 1945. Rumusan Pancasila sebagai dasar negara sudah final dengan lima sila pada 18 Agustus 1945.
Mengenai Pancasila diperas menjadi Trisila, diperas menjadi Ekasila, adalah bagian dari pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, di depan Sidang BPUPKI. Juga frasa “Ketuhanan yang berkebudayaan.”
Selanjutnya pidato Bung Karno ini dibahas oleh Panitia 9 pada 22 Juni 1945 dikenal dengan nama Piagam Jakarta, dan Bung Karno yang menjadi ketua.
Hasil dari Panitia 9 yakni Piagam Jakarta, dibahas kembali pada 18 Agustus 1945 dalam Sidang PPKI di mana Bung Karno juga sebagai ketua. Pada pembahasan itu, tujuh kata dalam sila pertama yaitu Ketuhanan “dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tanpa kata “Pancasila” 5 sila masuk menjadi bagian dari pembukaan UUD 1945.
Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 adalah menyampaikan dasar negara Indonesia merdeka yaitu Pancasila. Pancasila sebagai: “Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi,” tegas Bung Karno.