Bung Karno & Pak Harto (Bagian 1)

OLEH NOOR JOHAN NUH

Abad Kebangkitan

Di tanah jajahan Belanda bernama Hindia-Belanda, pada dasawarsa pertama abad 20, mulai bergeliat perlawanan kaum pribumi atau bumiputra  terhadap kolonial Belanda.

Tanggal 16 Oktober1905 di Surabaya, Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang adalah organisasi pribumi pertama di Hindia-Belanda. Organisasi ini sebagai perlawanan senyap  dari pedagang-pedagang Islam yang menentang politik Belanda yang memberikan konsensi perdagangan berlebihan pada orang-orang timur asing.

Hingga pada 10 September1912,  Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto merubah SDI  menjadi Sarekat Islam (SI), yaitu organisasi yang tidak saja bergerak dalam bidang ekonomi dan sosial, tetapi menjadi organisasi yang juga bergiat dalam bidang politik dan agama.

Perlawanan terhadap penjajah Belanda yang sebelumnya bersifat parsial kedaerahan seperti dilakukan oleh Pangeran Diponegoro di Jawa, Sultan Hasanuddin di Sulawesi, atau Teuku Umar di Aceh — mulai berubah menjadi perlawanan bersifat kebangsaan, meskipun secara formal pernyataan satu bangsa yaitu bangsa Indonesia, baru diikrarkan pada 28 Oktober 1928.

Di abad kebangkitan kebangsaan inilah pada 6 Juni 1901, lahir bayi lelaki bernama Koesno yang kemudian karena kerap diserang penyakit diganti namanya menjadi Soekarno,

Putra Sang Fajar & Bayi Biasa

Kelahiran Soekarno yang dramatis ditulis oleh Cindy Adam dalam otobiografi Bung Karno —Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia— dituliskan: “Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, Ibu memelukku dengan tenang, kemudian berbicara dengan suara lembut. Nak, engkau sedang memandang fajar. Kelak engkau akan menjadi orang mulia, engkau pasti menjadi pemimpin rakyat kita, karena Ibu melahirkan kamu pukul setengah enam pagi, saat fajar menyingsing. Kita orang Jawa percaya, seseorang yang dilahirkan saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan. Jangan sekali-kali kamu lupa, engkau putra sang fajar.”

Lihat juga...