MUI: Jaminan Kesehatan Terlalu Sakral untuk Diperdagangkan
Redaktur: Muhsin E Bijo Dirajo
JAKARTA — Di tengah ancaman pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberlakukan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.
Permasalahan Perppres tersebut adalah dinaikkannya kembali Iuran Jaminan Kesehatan. Terdapat klausul, besaran iuran ditinjau paling lama dua tahun sekali.
Anggota Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr. H. Abdul Chair Ramadhan mengatakan, ketentuan Perpres Nomor 64 tahun 2020 itu demikian longgar, menyebabkan kenaikan terjadi dalam waktu yang relatif singkat.
“Di sisi lain, pendapatan masyarakat belum menunjukkan peningkatan ke taraf yang lebih baik,” ujar Abdul dalam rilisnya yang diterima Cendana News, Kamis (14/5/2020).
Menurutnya, kenaikan iuran berlaku demikian variatif. Menurut Perpres 82/2018 besaran iuran ditetapkan sebesar Rp25.500 untuk Kelas III, Rp51.000, untuk Kelas II dan Rp80.000, untuk Kelas I.
Kemudian, melalui Perpres 75/2019 mengalami kenaikan, Rp42.000, untuk Kelas III, Rp110.000, untuk Kelas II dan Rp160.000, untuk Kelas I.
Terhadap kenaikan tersebut, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkannya. “Namun ternyata, pemerintah tidak menghiraukannya. Kondisi ini jelas menunjukkan ketidakpastian atau ketidaktaatan hukum terhadap putusan lembaga yudikatif,” tukasnya.
Lebih lanjut, sebut dia, pada Perpres 64 tahun 2020 variasi kenaikan iuran cukup beragam. Pada kelas III (khusus untuk tahun 2020) masih tetap sebesar Rp25.500, pada tahun 2021 dan tahun berikutnya naik menjadi Rp35.000.
Untuk Kelas II naik menjadi Rp100.000, dan kelas I naik menjadi Rp150.000. Kenaikan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2020.