Upacara Mecaru Tradisi Penyucian Bumi Sebelum Mendirikan Bangunan
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
LAMPUNG – Warga asal Bali yang tinggal di wilayah Lampung Selatan (Lamsel) masih melestarikan tradisi leluhur sekaligus religi.
Mecaru atau istilah lain dikenal dengan sedekah bumi masih rutin dilakukan oleh warga Desa Sumber Nadi, Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan (Lamsel).
I Gde Mangku, pemangku di desa setempat menyebut Mecaru kerap dilakukan sebagai tradisi leluhur.

Makna mecaru disebutnya adalah menyucikan bhuwana agung dan bhuwana alit. Bhuwana agung yaitu alam semesta dan bhuwana alit adalah umat manusia.
Menggelar mecaru disebut sang pemangku sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Mah Esa atau Sang Hyang Widi Wasa atas segala limpahan yang telah diberikan kepada umat dan alam semesta.
Pada kehidupan warga Bali di Lamsel pemeluk Hindu mecaru menjadi bentuk rasa hormat kepada pemberi kehidupan.
Pecaruan disebutnya menjadi simbol memohon izin untuk bumi pertiwi sekaligus memohon keselamatan. Waktu mecaru atau sedekah bumi kerap memperhatikan perhitungan hari sesuai kalender Bali untuk sejumlah keperluan dalam tradisi Hindu.
“Pemilihan waktu Mecaru selalu menggunakan hitungan hari karena dalam tradisi Hindu Bali ada hari baik untuk kegiatan serta hari yang sebaiknya dihindari agar niat bisa terkabulkan sesuai keinginan yang melakukan mecaru,” terang I Gde Mangku saat ditemui Cendana News, Minggu (26/4/2020).
Ia menambahkan dalam pemilihan hari untuk mecaru filosofi yang dipegang adalah penghormatan pada pemberi hidup. Saat mecaru sebagai sedekah bumi kerap dilakukan untuk membangun pura, tempat suci, dasar pondasi rumah, genteng, pagar, membuat kolam ikan serta sejumlah bangunan. Sedekah bumi dilakukan memohon keselamatan ibu pertiwi pemilik bumi.