Lalu, apa aku salah jika harus kecewa?
Mandar menggeleng. “Tapi, alangkah elok jika kau melupakan semua itu. Ada yang lebih besar berada di depanmu, keberhasilanmu. Kesuksesan kau!”
Aku diam. Meski aku tak begitu paham.
***
PADA akhirnya aku mesti sendiri. Menjauhi keriuhan. Tak mudah merangkul teman menjadi sahabat karib. Melepas seluruh tawa bersama kawan. Ketika harus bertemu dengan kawan-kawan, aku memilih diam. Sedikit menutup pintu. Lebih memilih sebagai pendengar. Kuhindari dialog, apatah lagi perdebatan.
Aku ingin seperti Muhammad lari dari ketakutan bersembunyi di dalam goa. Atau ingin menjadi tiga pemuda yang meninggalkan kezaliman, lalu terlelap berabad-abad di dalam goa ditemani seekor anjing.
Akhirnya aku menjadi manusia kamar, seperti dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma. Berjam-jam di depan meja kerja. Mengajak bermain dan menari tuts laptopku. Kubiarkan lamunanku berkeliaran secara liar. Memasuki kamar-kamar perempuan, rumah bordil, rumah ibadah, alun-alun, mal, bioskop, dan seterusnya.
Malam bagiku adalah kehidupan. Kukenakan baju beberapa lapis lalu dibalut jaket dan sal di leher. Menembus dingin, bahkan guguran salju. Menaiki kereta tanpa tujuan stasiun yang pasti. Aku terhibur, jika di stasiun atau di kereta menyaksikan pasangan kekasih berpelukan dan berciuman.
Pada malam aku kian hidup. Menertawai orang-orang yang sudah lelap. Untuk apa mereka tidur, jika esok fajar harus bangun dan menatah hidup kembali? Dan, aku selalu berdoa agar Tuhan memberiku insomnia. “Hanya pejalan malam yang menemukan fajar,” kata Kahlil Gibran.
Aku ingin menjadi pejalan malam. Menembus pekat, benderang, remang. Lalu menaiki tangga ke langit. Bersedekap dengan pemilik malam. Mengadu. “Jauhkan kegagalan. Kuatkan kakiku agar bisa menapak lebih jauh lagi.”