Suatu Ketika dalam Perjalanan

CERPEN ISBEDY STIAWAN ZS

SAYA tahu kau diam-diam telah menikamku setelah kau meminum dari air sumurku. Saya juga tahu setelah kau ambil apa yang kau inginkan dariku lalu kau lupakan dari mana kebahagianmu.

Tetapi, tuan dan puan, percayalah aku tak pernah kehilangan. Sebab yang kau ambil telah membentuk mata air yang baru. Ia mengalir dan memancur, sebagaimana zamzam yang keluar karena ketukan tumit Ismail.

Kini, siapa lebih kering. Mata air dari sumurku atau air dalam gelasmu? Dan, aku tak pernah merugi. Zamzamku terus-terusan memancur, betapa pun berjuta-juta pendatang membawanya pulang. Apatah lagi hanya kau dan kau. Seorang atau dua orang.

Kau paham?

Ya! Seperti malam tak akan pernah kehilangan gelap meski siang mencuri dari jutaan waktunya. Hingga aku terbangun, namun jagaku datang dari kematian sementara.

Tuan dan puan, saya selalu gembira jika ada orang-orang yang riang sebab bisaku. Meski kemudian saya dilupakan. Teringat aku dengan kata bijak seorang teman: berilah apa yang kau punya dengan ikhlas sehingga kau tak kecewa jika kemudian ia melupakanmu, bahkan ucapan terima kasih pun tiada.

Tak apa. Sebab, kata sahabatku itu lagi, jangan pernah menginginkan orang lain semirip kita. Kau akan ditikam kecewa selalu, dan ikhlasmu hilang.

Dan, bergembiralah. Riang karena telah memberi kebahagiaan orang lain. Lalu nelangsa sehabis-habisnya jika tak mampu menggembirakan orang. Kata bijak dari sahabat saya terus terpatri.

Begitulah. Hari-hari berganti. Seperti musim akan bertukar. Bagaikan cuaca terus berubah rupa. Saya pernah bersamamu menyisir kanal, gedung-gedung tinggi. Juga sesekali mungkin, aku sudah lupa kapan, saya menggandengmu menembus dingin bersuhu 5 derajat celcius dalam kepungan gerimis ritmis.

Lihat juga...