Suatu Ketika dalam Perjalanan

CERPEN ISBEDY STIAWAN ZS

Santun dalam pergaulan ini yang acap dilupakan, lanjutku pada menit berikut, kita hanya menganggap kawan seperti terminal atau stasiun. Hanya persinggahan.

“Nah, orang-orang macam ini suatu saat yang bakal benar-benar ditinggalkan orang. Tak akan punya kawan,” lanjutku.

Giliran Mandar tersenyum.

“Sebetulnya tanpa kau berkata, aku tahu kau kecewa. Kecewa oleh kelakuan temanmu yang tak tahu bagaimana cara berterima kasih,” katanya kemudian.

“Ingat, kawan, jika kau memberi sebaiknya segeralah lupakan. Niscaya kau tak akan kecewa, kalau orang yang telah kau beri kemudian melupakanmu. Ikhlas saja, dan kerja apa pun.”

Aku diam. Memandang Mandar tak berkedip. Mataku tajam menembus bola matanya. Tetapi mata dia tetap memancar sejuk. Tak menyilaukan. Bahkan, tak menujah.

Maka saya tak akan membencimu ketika harus tak mengenalku. Hidup ini bagaikan komidi putar. Kita bisa berdebar namun pada saat bersamaan tertawa. Hari ini berkawan, sore nanti bisa saja tak saling bersapa.

Dulu, dulu sekali, Tuan dan Puan, kami pernah bepergian bersama-sama. Menyeberangi pulau, melintasi negara, menerbangi gunung-gunung. Mengumpulkan dingin agar suatu saat menjadi salju. Pernah pula satu meja menghabiskan segelas minuman alkohol.

“Begitulah kehidupan. Seperti di ring politik, tak ada kawan abadi tiada pula musuh abadi. Sebab yang ada dalam politik, juga hidup ini, barangkali hanya kepentingan bersama,” ujarmu.

Lalu lanjutmu, jika kepentingan bersama sudah tak perlu lagi boleh berpisah. “Bukankah dalam rumah tangga juga begitu? Kalau dipertahankan menyiksa dan tak lagi ibadah, Tuhan membolehkan umatnya bercerai meski dibenci-Nya,” tegasmu.

Lihat juga...