Karena Monotheis, Yazidi Sembah Setan
Catatan Ringan Akhir Pekan, T. Taufiqulhadi
Ketika Syeikh ‘Adi tiba di sana, ia mendapatkan sekelompok orang mempraktekkan mistisisme Adawiyah, yang bercampur dengan Zoroaster. Adawiyah-Zoroaster ini dicangkokkan pada Islam. Sehingga akhirnya, yang terlihat adalah sebentuk kepercayaan sinkretisme. Sinkretisme, yang menurut dugaan, campuran antara Zoroaster, Kristen, dan Islam. Mungkin inilah yang menjelaskan kenapa ada burung merak dalam keyakinan kaum Yazidi ini. Burung Merak adalah simbol tahta Persia kuno, Acheamenid, dan Zoroaster sebagai agama resmi negara.
Syeikh ‘Adi yang sangat toleran ini, tidak menyerang langsung praktek keagamaan model ini. Tapi justru ia membentuk zawiya (kumpulan darwis) sendiri. Sikap Syeikh ‘Adi segera memikat hati komunitas ini. Sebenarnya, Syeikh ‘Adi, yang dekat dengan aliran sufiistik Adawiyah ini, tidak mengajarkan praktek Islam yang menyimpang. Dengan cara sangat toleran, ia juga memperkenalkan ortodoksi dalam Islam. Tetapi sebagai Syeikh yang memimpin Dawis, ia menciptakan khasidah yang syair-syairnya sangat dipengaruhi al-Halaj. Para pengikutnya di gunung terpencil itu akhirnya menggeser makna syair itu dengan menganggap “Syeikh ‘Adi al-Haq”. Setelah ulama sufi ini meninggal, para pengikutnya mengkeramatkan dan menyembah kuburan Syeikh ‘Adi, dan kemudian ia sendiri disebut sebagai jelmaan Xwede.
Sementara dalam narasi Yazidi, Sultan Ezi, yang merupakan tokoh ketiga paling penting, justru sangat tersamar dan tidak jelas asal-usulnya. Padahal, Sultan Ezi ini adalah salah satu dari Trinitas Suci Yazidi. Dia kadang kala diidentifikasi dengan Tawusi Malik.
Tradisi Yadizi tentang Sultan Ezi, lebih bersandarkan kepada legenda. Misalnya disebutkan, Ezi atau Ezda adalah anak Shahib bin Jerr. Tawusi Maliklah yang merencanakan perkwaninannya dan kaum Yazidi ini adalah keturunan anaknya.