Mengenal Kopi Asli Batusangkar
Beberapa situs yang ia buka selalu menyinggung tentang kopi di kaki Gunung Talang, Solok itu. Solok Radjo membuatnya penasaran hingga bertekad untuk belajar cara pengolahan kopi ke sana .
Berbekal GPS dan Map Goggle di ponsel, ia meluncur ke Solok. Jarak Batusangkar dengan Solok memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 50 kilometer. Dua daerah itu bertetangga, dipisahkan sebuah danau yang cantik, Danau Singkarak.
Di Solok, Jefri bertemu Tengku Firmansyah, salah seorang tokoh Koperasi Produsen Serba Usaha (KPSU) Solok Radjo di Lembah Gumanti, Solok. Diskusi mereka menjadi panjang. Rentang usia yang tidak terlalu jauh pada awal 30-an membuat komunikasi berjalan dengan cair.
Banyak ilmu yang bisa diserapnya saat berdiskusi dengan tokoh muda itu, terutama tentang masih belum adanya standar produksi kopi di tingkat petani. Hal itu membuat kualitas tidak merata, kadang bercampur hingga menjadi kurang bagus. Biji kopi yang seperti itu, kalau diproses baik pun harga tetap murah.
Petani juga tidak mendapatkan edukasi secara teknis tentang budi daya kopi, agar produktivitas buah kopi menjadi baik. Juga tentang pengolahan pascapanen.
Meski menyerap banyak ilmu, tetapi Jefri tidak bisa membeli kopi dari situ, karena hasil produksi Solok Radjo adalah green beans, yaitu biji kopi hijau yang setelah dipanen diolah melalui beberapa metode.
Green beans itu untuk bisa dikonsumsi harus disangarai/ dipanggang terlebih dahulu untuk kemudian menjadi beans (biji kopi siap konsumsi).
Saat itu, Jefri belum punya ilmu yang cukup untuk melakukan semua proses itu sendirian. Karena itu, ia terpaksa membeli biji kopi dari Padang. Dengan biji kopi dari Padang itulah yang memberanikan diri membuka usaha kopi, “Kopi Mato Aia.”