Lebih baik aku keluar lewat jendela saja. Sekali meloncat, aku berada di samping kandang ayam. Di sana, ayam jago Uwak diikat ke kaki kandang. Alangkah baiknya jika ayam ini kulepaskan. Bukankah ini yang menjadi persoalan?
Cepat-cepat kubuka ikatan yang melilit kaki ayam, dan kebetulan Sarip yang ikut bolos sekolah melintas.
“Rip, Sarip,” panggilku.
Sembari mendekat, Sarip memasang mimik muka penasaran mendapatiku menyodorkan ayam Uwak.
“Ambillah. Kau sembelih, makanlah.”
“Ai, ini ayam uwakmu, Har. Kau bisa diamuk.”
“Tak apa. Kau bercita-cita jadi tentara, bukan? Ayam ini terbukti mampu mengalahkan ayam Cong Akrom. Atas nama persahabatan, sembelihlah ayam ini. Niscaya tubuhmu akan kuat seperti prajurit-prajurit negeri ini.”
Sarip percaya. Matanya ingar bingar bahkan mengucap terima kasih berkali-kali menerima pemberianku ini. Setelah dibungkus karung goni, Sarip menyelinap pulang lewat ladang. Sementara aku kembali ke kamar, meloncat lewat jendela.
Kupastikan sebentar lagi Uwak tak hanya mengamuk. Aku yakin ia bakal bertingkah seperti orang kesurupan. Mengeluarkan sumpah serapah, mengeluarkan bunyi-bunyi tak mengenakkan. Tak apa.
Bukankah, jika diibaratkan sepeda, Uwak layaknya knalpot yang kerap mengeluarkan bunyi tak enak telinga? Bukankah, knalpot selalu mengeluarkan polusi udara yang mau tak mau keberadaannya harus diakui juga? ***
Nurillah Achmad, alumnus TMI Putri Al-Amien Prenduan, Sumenep. Karya fiksinya pernah dimuat di berbagai media. Saat ini, bertempat tinggal di Jember, Jawa Timur.
Redaksi menerima cerpen. Tema bebas tidak SARA. Naskah orisinal, hanya dikirimkan ke Cendana News, belum pernah dimuat atau tayang di media mana pun baik cetak, online, dan juga buku. Kirimkan naskah ke editorcendana@gmail.com. Disediakan honorarium bagi karya yang ditayangkan.