Keluarga Umak

CERPEN NURILLAH ACHMAD

Orang-orang bergerutu. Pertandingan baru dimulai, tapi Cong Akrom kalah lebih dulu. Aku lihat Uwak banyak mengumbar senyum. Bahkan sesekali bersiul. Beberapa lelaki juga menghampiri. Memberi ucapan selamat, dan ikut tertawa ketika Uwak menunjukkan sesuatu yang menjembul di saku celananya.

Aku cepat-cepat pulang. Agar tak ketahuan, aku pura-pura sakit perut. Tentu aku harus berbadan lemas, dan bermuka memelas agar tampak meyakinkan. Dan benar. Setiba di rumah, Umak bertanya sebentar, lalu menyodorkan air bercampur garam dan gula.

Ai, sungguh tak enak berdusta itu. Kalau bukan rasa penasaran ayam jago Uwak yang baru saja menang itu, aku pasti sekolah meski telat.

Dan sekarang, aku ketar-ketir mengintip Uwak yang masih bersiul, lalu menyodorkan segepok uang pada Umak. Umak tak mau. Ditatapnya lelakinya itu. Baru kali ini aku melihat Umak melotot lebar begini.

Sedangkan Uwak tak hanya marah. Ia mengambil kapak, dipukulkan berkali-kali ke atas meja. Raut wajahnya berbeda sekali saat berada di tepi sungai.

“Tadi kau meminta nafkah, sekarang setelah aku beri begini banyak kau tolak. Maumu apa, Rahma? Kenapa kau tak bisa menyenangkan suami, ha?”

“Aduhai, Sa’di. Sampai mati aku tak mau menerima uang ini. Aku tak mau memberi makan Ehar uang haram. Uang hasil berjudi ayam. Kau pikir aku tak tahu, kau menyabung ayam dengan Cong Akrom? Kau pikir aku senang, kau membawa uang hasil berjudi untuk makan?”

Uwak tambah geram. Ia membanting kursi, meja, gelas dan piring. Umak ketakutan mendapati perilaku Uwak. Sebetulnya, aku ingin keluar kamar menghampiri Umak. Tapi aku takut melihat kapak yang digenggam Uwak.

Lihat juga...