Keluarga Umak

CERPEN NURILLAH ACHMAD

Padahal Wan Ali, lelaki penjual emas di pasar itu, tak pernah buka tokonya pagi-pagi. Tetap saja ibu-ibu memakai perhiasan yang menjuntai sampai kaki.

Aku yang tak punya pilihan selain berangkat sekolah bersama para petani yang hendak ke sawah, terpaksa berjalan sembari menggerutu. Kadang aku berhenti di tepi sungai agar tak tiba di sekolah terlalu pagi.

Sebetulnya aku ingin sekali bolos, tapi, kasihan Umak. Tak tega aku membohongi perempuan paruh baya itu. Meski kuakui, kebiasaan ini lumrah terjadi dalam hubungan anak dan orang tua. Kalau tak percaya, mari kita lihat dalam diri, berapa kali membohongi ibu sendiri.

Entah soal SPP tak dibayar sampai pura-pura ada iuran, semua disampaikan dengan mencari akal agar terdengar meyakinkan.

Ah, tentu ini bukan kesalahan aku saja. Ini bermuara pada Umak jua. Perempuan itu kerap kali mengeluarkan kalimat-kalimat janggal, semisal, “Jangan main saat azan duhur. Banyak setan.”

Ai, berarti setan keluar hanya siang dan tidur saat malam seperti manusia, begitu? Lain waktu Umak tak hanya merangkai kalimat-kalimat bernuansa sakral, tapi mengeluarkan azimat-azimat menakutkan. “Kalau kau berbohong sekali saja, rangong akan menangkap dan membawamu ke dasar sungai.”

Aku bergidik membayangkan rangong. Makhluk di bawah sungai yang tubuhnya separuh ular separuh ikan. Tiap tahun, kali Mayang rutin menelan korban.

Bahkan Suli, tetangga sebelah rumah, sebulan lalu merasakan lilitan binatang itu. Beruntung dia mengucap takbir tiga kali. Dihempaskanlah tubuh lelaki itu ke tepi kali.

“Har! Ehar! Uwakmu ada di bawah jembatan sekarang,” Sarip, kawan sekelasku menarik lengan. Belum mengenakan seragam, dan sepertinya baru selesai mandi di sungai.

Lihat juga...