Banyak Fasilitas Publik di Sikka Belum Ramah Difabel

Editor: Koko Triarko

Sejak terbentuk organisasi Forsadika, pihaknya mulai membangun relasi dengan pemerintah. Dirinya beralasan, berbicara tentang disabilitas, maka disabilitas harus terlibat di dalamnya.

“Selama ini, Caritas Keuskupan Maumere dan yayasan Nativitas Maumere membantu kelompok disabilitas orang per orang, tetapi saat dieveluasi hasilnya kurang memuaskan,” terangnya.

Makanya, penyandang disablitas di Sikka membentuk organisasi. Pihaknya melihat kenyataan yang ada, di mana ketika organisasi yang berbicara, maka hasilnya lebih kuat dibandingkan dengan personal yang berbicara.

“Penyandang disabilitas sejak dahulu mengalami stigma atau diskriminasi dan sampai sekarang pun masih terjadi. Untuk itu, kami selalu melakukan sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat,” ungkapnya.

Untuk masyarakat, pesan Maria, harus memiliki pemahaman yang benar mengenai penyandang disabilitas. Dirinya meminta penyebutannya lebih diperhalus, seperti tidak menyebut cacat tapi difabel.

“Di kampung-kampung saya, masih menjumpai masyarakat memanggil seorang disabilitas dengan bahasa yang tergolong kasar. Pelan-pelan kita ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat, agar tidak ada stigma ini,” ujarnya.

Margaretha Helena, Koordinator project program Rehabilitasi Bersumber Masyarakat (RBM) Caritas Keuskupan Maumere,menambahkan, data pasti jumlah disabilitas di Sikka masih belum valid. Menurutnya, ada sekitar 200 orang disabilitas di Sikka.

“Untuk penguatan kapasitas teman-teman disabilitas juga, kami mengalami kesulitan, sebab sulit mendapatkan difabel yang potensial yang minimal memiliki pendidikan setingkat SMA,” ujarnya.

Lihat juga...