Milk Al-Yamin, Otomatis Dilindungi Negara?

OLEH ABDUL ROHMAN

Abdul Rohman, Penulis Buku Presiden Soeharto dan Visi Kenusantaraan, -Dok. CDN

Beda dengan hukum konvensional, yang pemberlakuaanya melalui tahapan-tahapan formal. Banyak ragam pandangan akademik/pakar terkait hukum baru. Namun pemberlakuannya setelah diundangkan sebagai UU konvensional.

Dalam masyarakat beragama tidak formalis seperti itu. Mana yang diyakini sebagai pandangan keagamaan yang benar, itulah yang diikuti.

Terkait UU konvensional pun, mereka juga lupa bahwa ada klausul dalam UU Perkawinan tahun 1974, yang menyatakan bahwa “pernikahan syah menurut agamanya masing-masing”.

Artinya, jika konsep Milk Al-Yamin dibenarkan dalam Islam, maka dengan sendirinya, atas amanat UU, maka dilindungi berlakunya di Indonesia.

Terus bagaimana jalan aman yang maslahat (bermanfaat) dalam menyikapi kemunculan konsep Milk Al Yamin?

Harus dipahami dalam realitas kehidupaan kita ada beragam variabel yang berjalan beriringan. Pertama, ada disertasi akademis, lingkungan akademis dan tradisi akademis. Kedua, ada hukum konvensional yang berlaku di negara kita. Ketiga, ada lembaga-lembaga keulamaan yang tugasnya memverifikasi kebenaran hukum Islam yang bisa dianut oleh masyarakat.

Bukan soal tradisi akademik saja, dalam Islam mengenal ijtihad. Maka selama ini banyak varian tafsir terhadap banyak hal dalam Islam. Hal itu telah berjalan beriringan berabad-abad.

Sudah merupakan hal biasa, walaupun dalam persyaratan-persyaratan ketat. Termasuk siapa yang diterima bisa melakukan ijtihad.

Apakah cendekiawan biasa yang menulis disertasi, bisa dikategorikan mujtahid?  Itu wilayah pembahaasan yang akan panjang lagi. Masing-masing ijtihad punya penganut dan diikuti bagi yang meyakininya.

Lihat juga...