Suara Penentuan Muhammad Nuh Bagi Panglima Sudirman
Editor: Koko Triarko
Setelah perang kemerdekaan, Kolonel Muhammad Nuh mundur dari dinas militer dan menjadi anggota DPR RIS. Dituturkan dalam buku ini, peran Muhammad Nuh selanjutnya dalam Dewan Garuda berkaitan dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dan, di buku ini ditegaskan, bahwa Dewan Garuda tidak terlibat dengan proklamasi PRRI, berikut uraian dan fakta sejarahnya.
Sesuai dengan judul, buku “6 Suara Untuk Pak Dirman—Kolonel Muhammad Nuh–Kepala Staf Komandemen Sumatra—Penentu Kolonel Soedirman Menjadi Panglima Besar—buku ini seperti membuka tabir sejarah yang selama ini agak tersamar tentang sosok perwira dari Sumatra, yang memberikan 6 suara pada waktu pemilihan Panglima Besar pada 12 November 1945 di Yogyakarta.
Sebetulnya, peran Kolonel Muhammad Nuh dalam pemilihan Panglima Besar telah ditulis di berbagai buku, antara lain oleh Jenderal AH Nasution, di buku ‘Sekitar Perang Kemerdekaan I’.
Juga ditulis oleh ajudan Jenderal Soedirman, yakni Letnan Jenderal Tjokropranolo di buku ‘Jenderal Soedirman Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia’—dan pemilihan Panglima Besar menjadi adegan pertama film “Jenderal Soedirman” yang tayang pada 2015.
Buku yang menuturkan sosok yang relatif tidak dikenal ini—biografi seorang kolonel menjadi menarik, karena diberi kata pengantar oleh 3 orang jenderal bintang empat, yakni Ryamizard Ryacudu, Agum Gumelar, Tyasno Sudarto, 2 orang jenderal bintang tiga, yakni Ahmad Taher dan Himawan Sutanto, serta 1 orang jenderal besar, yaitu AH Nasution.
Penulis yang merupakan anak dari Kolonel Muhammad Nuh, ini mulai intensif menelusuri rekam jejak bapaknya setelah mengkritisi buku Jenderal AH Nasution, ‘Memenuhi Panggilan Tugas I’, yang menuliskan peristiwa pemilihan panglima besar, tanpa menyebut nama perwira dari Sumatra pembawa 6 suara untuk Pak Dirman, yang ternyata adalah bapaknya.