Suara Penentuan Muhammad Nuh Bagi Panglima Sudirman
Editor: Koko Triarko
JAKARTA – Buku berjudul ‘6 Suara Untuk Pak Dirman-Kolonel Muhammad Nuh, Kepala Staf Komandemen Sumatra-Penentu Kolonel Soedirman Menjadi Panglima Besar TKR’, karya penulis Noor Johan Nuh, yang diterbitkan oleh Yayasan Kajian Citra Bangsa, pada 2019, setebal IX + 356 halaman, menuliskan biografi sosok Muhammad Nuh yang merupakan orang tua penulis, mulai dari lahir hingga wafat.
Di masa remajanya, Muhammad Nuh masuk sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS) di Muara Enim, kemudian dilanjutkan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Palembang.
Setamat MULO, dalam usia relatif muda (17 tahun), ia menjadi Pasirah (Kepala Marga), yakni bagian dari strata pemerintahan di Sumatra Selatan pada waktu itu, dan menjadi Pasirah termuda di Sumatra, menurut mantan Gubernur Sumatra Selatan, Mayor Jenderal Polisi (Purn) Ahmad Bastari.
Sepuluh tahun menjadi Pasirah, pada waktu fasisme Jepang, 1943, membuka kesempatan bagi para pemuda mengikuti pendidikan militer Giyugun (PETA di Jawa), Muhammad Nuh bersama Bambang Utoyo dan Makmun Murod, mengikuti pendidikan militer Giyugun di Pagar Alam. Para perwira Giyugun inilah yang menjadi pioneer pembentukan tentara di Sumatra Selatan.
Karir militernya dimulai sejak pemerintah membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Muhammad Nuh sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra.
Pada Januari 1947, Muhammad Nuh menjadi Panglima Divisi VIII Garuda selama empat bulan.
Pada Mei 1947, ia bergabung di Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta sebagai Opsir Penghubung Panglima Besar dengan Komandemen Sumatra.
Pada November 1947, ia mendapat penugasan mencari senjata dan obat-obatan ke luar negeri, dan kembali setelah perundingan Roem-Royen.