JAKARTA – Ibadah kurban dilakukan secara rutin setiap tahun di Indonesia, namun angka persebaran daging kurban dikatakan tidak merata antara pedesaan dan perkotaan.
Angka mustahik disebut oleh Direktur Eksekutif Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono, sebenarnya hampir sama. Hanya saja, potensi mereka yang berkurban di desa lebih sedikit dibandingkan dengan di perkotaan.
“Angka mustahiknya sebenarnya hampir sama, hanya di desa yang berkurban (potensinya) lebih sedikit dibandingkan dengan perkotaan,” ujar dia, di Jakarta.
Untuk menyelesaikan permasalahan itu, Yusuf mengatakan seharusnya ada skema rekayasa sosial, sehingga penyampaian daging kurban perkotaan bisa merambah ke pedesaan.
IDEAS pada 2019 mengeluarkan proyeksi daerah dengan potensi surplus kurban terbesar didominasi daerah perkotaan Jawa Barat (18 ribu ton), diikuti DKI Jakarta (16 ribu ton), perkotaan Banten (10 ribu ton), dan perkotaan Jawa Timur (9 ribu ton).
Sedangkan daerah dengan potensi defisit kurban terbesar didominasi daerah pedesaan, yaitu pedesaan Jawa Timur (minus 22 ribu ton), pedesaan Jawa Tengah (minus 16 ribu ton), pedesaan Sulawesi Selatan (minus 9 ribu ton), pedesaan Jawa Barat (minus 5 ribu ton), dan pedesaan Lampung (minus 5 ribu ton).
Ketimpangan antara jumlah kurban di desa dan kota menyebabkan banyak penerima kurban (mustahik) di pedesaan tidak terdistribusi secara merata. Sementara itu, potensi mustahik terbesar secara umum ada di pedesaan, di mana kelas bawah Muslim berdaya beli rendah (di bawah Rp500 ribu) berjumlah 24,9 juta jiwa, sedangkan di perkotaan hanya 18,2 juta jiwa.