Sumbar Persiapkan Tambang Batu Bara Sawahlunto Sebagai Obwis Internasional
Editor: Koko Triarko
Kemunculan bahasa Tangsi sendiri dimulai sejak beroperasinya Tambang Batubara Ombilin (TBO) dan arus migrasi orang-orang dari berbagai daerah ke Sawahlunto. Pendatang itu berasal dari berbagai daerah di Hindia Belanda dan dari berbagai bangsa Eropa yang turut bermukim di sekitar tambang.
Para pekerja tambang, terutama pekerja paksa atau disebut juga buruh paksa, awalnya adalah narapidana dari penjara Muaro Padang. Karena sering melarikan diri, pihak pemerintah Hindia Belanda akhirnya mendatangkan narapidana dari penjara-penjara di Batavia.
Para narapidana ini terdiri dari orang Jawa, Bali, Madura, dan Bugis. Mereka dipaksa untuk bekerja menggali batu bara di lubang-lubang penggalian. Narapidana yang dianggap berbahaya, terutama para tawanan politik, dirantai kaki, leher, dan tangannya. Mereka pun dinamakan kettingganger atau ”orang rantai”. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Sawahlunto.
Sebagai medium komunikasi, akhirnya terciptalah suatu bahasa campuran yang populer disebut sebagai bahasa pijin. Oleh generasi penggunanya, bahasa pijin kemudian berubah menjadi bahasa kreol, karena dijadikan sebagai bahasa ibu. Karena bahasa kreol ini tercipta dari penuturnya, buruh tambang batu bara yang hidup dan tinggal di tangsi-tangsi, sehingga disebut bahasa Tangsi.
Terdapat dua dialek utama pada bahasa Tangsi, yakni Pusat Kota Lama (Kecamatan Lembah Segar) dan Teras Kota Lama (Kecamatan Barangin dan Talawi).