Sumbar Persiapkan Tambang Batu Bara Sawahlunto Sebagai Obwis Internasional

Editor: Koko Triarko

“Tansi atau Tangsi adalah bahasa yang berasal dari buruh tambang batubara di masa kolonial Belanda di Sawahlunto. Para buruh ini menciptakan model bahasa kreol sejak kawasan ini menjadi kota tambang modern. Bahasa kreol pertama di Indonesia yang lahir dari latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman,” ujarnya.

Dengan demikian, percampuran pada bahasa Tangsi lahir tidak kurang dari 10 bahasa, yaitu Jawa, Sunda, Madura, Bali, Bugis, Batak, Cina, Minangkabau,Belanda, dan Melayu, sebagai bahasa dasar. Bahasa Tangsi pada umumnya tumbuh di kawasan kota lama, yaitu Tangsi Rante (untuk orang-orang rantai), Tangsi Tanah Lapang, dan Tangsi Baru yang berlokasi di Air Dingin, sampai saat ini generasi keturunan orang rantai itu yang berdiam di kawasan Tangsi masih menggunakan bahasa Tansi.

Selain itu, juga terdapat tangsi di wilayah lain di Kota Sawahlunto, seperti Tangsi Baru, Tangsi Duren, Tansi Sunge Duren, maupun Tansi Sikalang.

Pada 10 Oktober 2018, Bahasa Tansi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Berawal dari penemuan kandungan batu bara di timur Singkarak pada 1851 oleh Ir. C. de Groot dan penemuan lapisan batu bara di Ulu Air di daerah Batang Ombilin pada 1868 oleh Ir. WH de Greve, seorang ahli geologi Belanda.

Penemuan yang lalu diperkuat oleh penelitian P Van Diest itu mengindikasikan kandungan batu bara yang terdapat di perut bumi perbukitan Batang Lunto, minimal 205 juta ton dan tersebar di sepanjang batang Ombilin.

Melihat adanya potensi keuntungan, pemerintah Hindia Belanda kemudian merealisasikan eksploitasi tambang batu bara tersebut. Sekali pun dengan biaya cukup besar, dibangun jalur transportasi kereta api dari Ombilin di Sawahlunto menuju Pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur). Inilah periode awal perubahan Sawahlunto dari ”ladang padi” di ceruk bukit kosong tak berpenghuni, menjadi kota tambang modern.

Lihat juga...