Sengkolon, Kue Tradisional yang Makin Langka
Editior: Koko Triarko
YOGYAKARTA – Bentuknya bulat besar. Berwarna merah menyala di bagian atas, dan warna putih di bagian bawah. Teksturnya empuk, serta memiliki guratan-guratan khas parutan kelapa. Rasanya gurih serta bercampur manis. Itulah Sengkolon atau juga biasa disebut Awug-Awug.
Mungkin sudah tak banyak masyarakat yang mengenal kuliner tradisional satu ini. Selain mulai langka dan tak banyak dijual di pasar-pasar tradisional, Sengkolon juga makin jarang dibuat oleh masyarakat Jawa saat ini.
Di Yogyakarta, bila beruntung Sengkolon atau Awug-Awug hanya dapat ditemukan di pasar-pasar tradisional pelosok Kulon Progo, Bantul atau Gunungkidul. Salah satunya seperti di Pasar Jombokan, Pengasih, Kulon Progo. Di pasar ini, Sengkolon masih dijual bersama jajanan pasar lainnya.
Siti, warga Kulon Progo, menyebut Sengkolon atau Awug-Awug dibuat dari bahan dasar utama tepung beras ketan. Warna merah menyala pada Sengkolon berasal dari pewarna makanan yang diberikan untuk membuatnya menjadi lebih menarik.
Rasa gurih pada Sengkolon atau Awug-Awug berasal dari parutan kelapa yang dicampurkan pada bahan utama. Sementara rasa manis berasal dari gula pasir yang memang ditambahkan untuk penyeimbang rasa gurih kelapa.
“Untuk membuat Sengkolon sangat mudah. Pertama, rendam beras ketan selama semalam, cuci bersih, tiriskan lalu giling atau blender hingga halus menjadi tepung. Setelah itu, buat adonan dari tepung beras yang sudah jadi bersama parutan kelapa, gula pasir, sedikit garam dan vanili. Aduk hingga rata,” katanya.
Kemudian, sisihkan sebagian adonan untuk diberi pewarna makanan. Biasanya, warna yang dipilih adalah warna merah menyala. Sementara sisa adonan tetap dibiarkan berwarna putih. Kedua adonan ini kemudian ditaruh dalam nampan bulat yang telah diberi alas daun pisang. Adonan putih ditaruh di bagian bawah, dan adonan berwarna merah berada di atas.