Alas Mentaok 

CERPEN EKO SETYAWAN

Maka dengan alasan itulah Danang Sutawijaya mengiyakan perintah dan segera berangkat. Tak ada yang ia takutkan selain kehilangan tanah impian semua manusia itu.

“Apa kau gentar dengan manusia picik itu?” Hadiwijaya mencoba meyakinkan Sutawijaya sebelum keberangkatan yang diiringi debur ombak Bengawan. Air di Bengawan seolah mengawal keberangkatan itu. Penuh amarah.

“Tidak, Sultan. Hambamu ini tak akan merusak nama baik Pajang,” jawab Sutawijaya tak kalah meyakinkan. Sebelumnya ia telah mengutus seseorang untuk mengajukan tantangan pada Arya Penangsang dengan memotong telinga Gagak Rimang − kuda kesayangan Arya Penangsang.

“Berperanglah untuk menang. Berperanglah membawa nama baik. Berperanglah dengan dada yang membara.”

Keberangkatan diiringi sorak-sorai. Semua orang berkumpul untuk memberikan penghormatan pada panji kesultanan yang memperjuangkan tanah kebanggaan dan Alas Mentaok yang kelak akan menghidupi mereka di hari yang akan datang.

Tanah yang diyakini akan memberikan hidup yang lebih baik. Tanah subuh yang akan memakmurkan keturunan mereka nantinya.
***
KEMATIAN tetaplah bernama kematian ketika malaikat mencabut nyawa. Kematian, meskipun dengan cara paling lembut atau pun dengan cara munafik sekali pun akan tetap disebut kematian jika ajal sudah menjemput.

Keris Kiai Setan Kober sudah gemetar sejak tiga puluh delapan hari yang lalu. Menunggu tetes darah dari kemarahan Arya Penangsang. Tetapi baru akan terlaksana ketika Gagak Rimang diputus telinganya oleh orang utusan Hadiwijaya.

Tentu hal itu menyulut amarah Arya Penangsang karena kuda kesayangannya itu tak lain kehormatan yang harus ia jaga. Melukainya sama saja melukai dirinya.

Lihat juga...