Alas Mentaok 

CERPEN EKO SETYAWAN

Angin kering bertiup kencang ketika malaikat di atas sana mengamati ruap kebencian yang lahir dari hati manusia. Danang Sutawijaya − dengan Kiai Pleret digenggamnya− tengah berkobar amarahnya.

Mata tombak yang tak lain adalah pusaka pemberian Ki Ageng Pamanahan tak lain untuk membunuh Arya Penangsang menguarkan kilatan-kilatan petir yang diserap ketika ditempa, juga bara api tak henti berkobar seiring dengan amarah pemiliknya yang menggebu.

Ia ditugaskan oleh ayah angkatnya− Sultan Hadiwijaya− untuk mempertahankan Kesultanan Pajang dari ancaman Jipang Panolan. Jipang Panolan ada di seberang Bengawan − arah timur laut. Beredar kabar dari jauh bahwa mereka akan merebut Pajang dengan tujuan untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka.

Suara tak mengenakkan itu sampai ke telinga Sultan Hadiwijaya. Tentu hal itu membuatnya murka. Demi mempertahakan kekuasaannya, ia mengutus Sutawijaya.

Sultan Hadiwijaya menjanjikan Alas Mentaok apabila Sutawijaya berhasil menghabisi Penangsang dan Pajang tetap kokoh sebagai kesultanan yang tak goyah sedikit pun karena ancaman. Mendengar iming-iming hadiah dari ayah angkatnya itu, Sutawijaya tak berpikir panjang.

Ia langsung mengiyakan. Terlebih ketika ia tahu bahwa di tangannya akan menggenggam Kiai Pleret yang begitu didambakan banyak orang.

Kiai Pleret ia peroleh dari Ki Ageng Pemanahan juga dengan syarat bahwa ia harus menang dalam pertempuran melawan Arya Penangsang. Itu permintaan pemiliknya demi membalas dendam kematian anak laki-laki yang dibunuh pemberontak itu.

Tombak pun berpindah tangan. Perlu bertapa selama 40 hari untuk menyesuaikan diri dan menyatukan laku antara tuan baru dengan pusaka keramat yang disepuh selama tujuh hari tujuh malam tanpa henti. Tombak dengan mata yang nyalang dan haus darah.

Lihat juga...