Perjanjian Swastanisasi Air di Jakarta Tidak Adil
Editor: Mahadeva
JAKARTA –Tim Evaluasi Tata Kelola Air Jakarta menemukan adanya ketidakadilan dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) pengelolaan air di Ibu Kota Jakarta yang dibuat 1997 lalu.
Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Jakarta, Nila Ardhianie, mengatakan, beberapa ketidakadilan tersebut seperti hak ekslusivitas, yang menyebabkan Pemprov DKI Jakarta kehilangan kontrol kewenangan atas pengelolaan air bersih.
Kemudian, pengelolaan keseluruhan tata kelola air yang dilaksanakan sepenuhnya oleh mitra swasta, mulai dari produksi sampai pelayanan pelanggan. “Serta adanya jaminan keuntungan yang dipastikan jumlahnya terlepas dari ketercapaian target kinerja swasta, yang pada 2023 akan mencapai Rp6,7 triliun,” ujar Nila, Senin (11/2/2019).
PAM Jaya bersama dengan Aetra, sudah melakukan revisi perjanjian, dengan membuat master agreement untuk menurunkan tingkat IRR dari 22 persen menjadi 15,8 persen. Dan, apabila tidak terbayarkan di akhir perjanjian, maka tidak akan menuntut pemenuhan pembayaran. Namun penyesuaian ini tidak terjadi dengan Palyja.
Berdasarkan kajian komprehensif, meliputi aspek hukum, aspek ekonomi, serta optimalisasi dan keberlanjutan air bersih, Tim Tata Kelola Air menggambarkan tiga pilihan kebijakan dan konsekuensinya. Opsi pertama, status quo atau membiarkan kontrak selesai sampai dengan waktu berakhirnya kontrak kerjasama. Pemutusan kontrak sepihak, serta pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata.
“Opsi status quo tidak kami sarankan. Karena memiliki banyak kelemahan bagi kepentingan Pemprov DKI dan masyarakat Jakarta pada umumnya. Pemprov DKI tidak akan mampu mencapai target penambahan layanan air perpipaan, karena adanya hak eksklusivitas mitra swasta dalam investasi dan pengelolaan,” ungkapnya.