Kivlan Zein: Pak Harto Telah Menata Negara dari Kekacauan
Editor: Mahadeva
JAKARTA – Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zein berkisah, jelang reformasi 1998, keadaan Jakarta sangat kacau. Demo dan kericuhan terjadi di mana-mana, aksi pembakaran merebak di sejumlah tempat, seperti di Glodok, Jakarta Barat.
Aktor politik, mahasiswa dan kekuatan militer, bergerak dengan tujuan masing-masing. Dalam satu arahan reformasi yang bergejolak. Namun ribuan pasukan juga bergerak untuk mengamankan kericuhan di Jakarta.
“Kami turunkan ribuan anggota Kostrad ke Jakarta untuk mengamankan kerusuhan di Jakarta. Tapi disangka mau kudeta. Tuduhan itu tidak benar,” kata mantan Kepala Staf Kostrad tersebut, pada diskusi, Para Tokoh Bicara 98, di Jakarta, Senin (25/2/2019).
Pengamanan Jakarta itu dilakukan, sejak kecurigaan pecah pada 12 Mei 1998. “12 Mei, saya di panggil Prabowo untuk datang ke Kostrad. Kumpulkan pasukan dan amankan Jakarta. Mengamankan sidang umum MPR dan Pemilu 1997 masih berlaku,” ujarnya menirukan perintah yang disampaikan Prabowo. Pasukan Kostrad dikumpulkan dari berbagai daerah. Mulai dari Garut, Tasikmalaya, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Makassar. Hal itu dilakukan, karena pada 13 Mei 1998, kericuhan di Jakarta semakin meluas.
Untuk mengamankan Jakarta, sekira 15 ribu anggota Kostrad didatangkan dan memenuhi penjuru Ibu kota Jakarta. “Kita kerahkan pasukan Kostrad untuk diserahkan ke Pangdam, 13 Mei pasukan masuk ke seluruh Jakarta. Karena kekacauan makin melebar,” ujarnya.
Setelah masuknya pasukan Kostrad, kondisi Jakarta mulai bisa diatasi. Situasi Jakarta berangsur membaik. Namun, pada 15 Mei 1998, ada manuver politik yang dilakukan Panglima ABRI Jenderal, Wiranto yang meminta Presiden Soeharto mundur dari kekuasaanya. “Pak Harto pada 15 Mei pulang ke Indonesia dari kunjungannya ke Mesir. Setibanya di Bandara Halim Perdana Kusuma, Wiranto bilang ke Pak Harto keadaan kacau. Tidak bisa diatasi. Lebih baik Bapak mundur. Wiranto ini yang perintahkan mundur. Ini saya ngalamin,” tegas Kivlan.