Tiga Lelaki di Alas Melas

CERPEN NURILLAH ACHMAD

“Semua orang di sini paham betul, kalau nasihat ibu adalah wahyu kedua setelah sabda nabi.”

Hanya itu yang diucapkan Sanusi sebelum meninggalkan Randu yang berdiri mematung. Randu Agung menatap punggung Sanusi. Kalau Jumari mati, hanya tersisa Sanusi dan dirinya. Lambat laun hanya menunggu waktu, siapakah di antara mereka yang meninggal terlebih dulu.

Randu tak mau begitu. Selagi tubuhnya sehat meski dalam hati dia ketar-ketir takut wabah penyakit ini diam-diam menyelinap di antara aliran darah dalam tubuhnya. Ia ingin keluar dari Alas Melas. Ia tak mau bertahan di antara mayat-mayat yang busuk.

Sayangnya, Randu tertahan nasihat Asiani. Meski perempuan itu berada di alam lain, nasihatnya adalah titah yang harus dijaga. Kalau tidak, dia menjadi anak durhaka dan Tuhan tak akan pernah membahagiakan hidup seorang anak yang kurang ajar pada orang tua, khususnya sang ibu.

Seburuk-buruknya sikap Randu Agung, dia juga ingin hidup bahagia. Hidup yang diridai Tuhan, Sang Hyang Wenang.

Tetapi, Randu tetaplah Randu. Meski pikirannya berkecamuk, ia tetap memungut ketela-ketela yang tercerabut. Tak banyak, semua hanya berjumlah satu keranjang besar.

Setelah itu, dia membawanya ke hadapan Sanusi. Sebagai jatah makan sehari-hari. Semenjak orang-orang  mati, mereka yang hidup berkumpul di rumah Sanusi. Untuk saling menguatkan. Padahal sebenarnya menunggu giliran malaikat maut mengajak pulang.

“Sesungguhnya, Wak. Kalau aku dicap durhaka, dicap sebagai pembangkang layaknya Rustam, dalam tubuhku masih ada nama ibu dan Alas Melas. Tak sekali pun aku berkeinginan menjadi pengkhianat. Sayangnya, aku tak mau mati sia-sia.”

Lihat juga...