ADA sebuah kisah yang ingin kusampaikan padamu. Tentang leluhur kampung yang melarang seluruh keturunannya keluar dengan alasan apa pun.
Barang siapa melewati dua pohon beringin di dekat mata air, kendati hanya sekadar mencari kayu bakar, ia bukan lagi penduduk Kampung Alas Melas.
Kalau kau mengernyit dahi, mengapa nenek moyang memerintah demikian, itu sebab masa lalu yang pilu. Tersebab masa lampau yang amat suram. Tepatnya, saat sisa-sisa kerajaan diserang kolonial. Ribuan orang dibantai. Sisanya melarikan diri ke pegunungan.
Sekelompok orang di Alas Melas adalah mereka yang memilih melanjutkan hidup di bawah kaki pegunungan yang diberi nama Alas Melas.
Maka, tak heran kalau orang-orang di sini tak mudah menerima kehadiran orang asing. Tersebab perlakuan penjajah yang teramat bengis.
Pun demikian dengan orang luar yang ingin memasuki kampung ini. Bakal diserang dan tak segan-segan dipanah. Bagi mereka, tanah leluhur harus bebas tak terjajah. Tak peduli dia berkulit putih atau bukan, Alas Melas harus dipertahankan.
Apalagi kedatangan orang asing ingin memberi bantuan obat-obatan. Penduduk Alas Melas tak sudi menggunakan. Mereka jauh lebih mempercayai tabib yang memakai obat dari alam disertai doa berisi puja dan puji. Bukankah, penjajah mulanya datang penuh rasa empati?
Kini, kampung ini sunyi senyap. Rumah-rumah berbilik kayu roboh tak beraturan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Ada di tepi sawah, di jalan, di rumah-rumah bahkan di dekat pohon beringin. Semuanya dipenuhi mayat-mayat yang terserang wabah penyakit.
Awalnya hanya sakit kepala beserta demam. Disusul kaki lemas tak bisa berjalan. Pelan-pelan lumpuh total lalu meninggal.