Begitu cepatnya penyakit ini menular. Anak kecil sampai lansia banyak meregang nyawa. Hanya tiga orang yang tersisa. Salah satunya Jumaji yang kini tubuhnya demam. Sebelumnya dia kehilangan sang istri. Lambat laun kehilangan kelima anaknya. Semuanya sama. Terkena penyakit mematikan ini.
Sanusi tak kalah miris. Cucunya yang baru lahir ikut mati. Sebagai penerus leluhur yang disegani, dia berulang kali merapal mantra. Berbicara dengan penghuni alam sana. Meminta petunjuk tentang penyakit yang diderita. Nyatanya, alam juga tak kunjung menjawab permintaan Sanusi.
Terakhir Randu Agung. Dibanding kedua tetangganya, tubuh lelaki muda ini belum merasa demam. Sebagai lelaki yang mahir memanjat, setiap hari ia memanjat pohon kelapa.
Memetik kelapa muda, diminumnya air degan itu. Katanya, sebagai pencegah. Takut penyakit yang ia lihat di depan mata bakal mendera tubuhnya sendiri.
“Seandainya keluar dari kampung adalah jalan satu-satunya menyelamatkan nyawa, aku akan pergi.”
“Apa yang kau lakukan, Randu?! Tak satu pun boleh keluar dari sini. Apa pun yang terjadi.”
“Semua sudah mati, Wak. Aku kehilangan bapak dan ibu. Apa salahnya aku keluar dan memohon bantuan?”
“Sejengkal saja kakimu melewati pohon beringin, saat itu juga kau bukan penduduk Alas Melas.”
“Haruskah larangan itu berlaku saat kematian semakin nyata datangnya? Wak Sanusi mungkin ikut mati. Tapi, aku tak mau pasrah begini.”
“Randu!” bentak Sanusi. “Tak ingatkah nasihat ibumu yang melarangmu keluar dari sini?”
Randu Agung menatap Sanusi. Bibirnya bergetar mengingat nasihat ibunya sebelum mati. Sebagai seorang ibu, Asiani paham betul anak semata wayangnya ini ingin keluar kampung.