Semenjak Randu Agung bertemu Rustam. Lelaki yang dicap pengkhianat karena melewati pohon beringin. Randu ingin sekali melihat suasana kampung yang diceritakan Rustam.
Sebuah kampung yang katanya tak memiliki tabib seperti mereka. Justru tabib di desa yang diceritakan Rustam amat beda. Tak menggunakan doa-doa, malah racikan obatnya seperti disuntikkan ke pantat si sakit. Orang-orang menyebutnya dokter.
Istilah kelu di bibir Randu. Belum lagi gedung-gedung yang menjulang tinggi. Semua menarik minat Randu Agung untuk segera pergi dari Alas Melas.
“Aku memang tak bisa melarangmu pergi. Tetapi, ingat, Randu. Ada ibumu yang selalu melihatmu dari sana.”
Randu memilih mengupas kelapa. Dipangkasnya ujung batok, lalu dituangkan airnya ke mulut Jumari. Berkali-kali sampai lelaki itu tak lagi kuat minum. Padahal tubuhnya kian menggigil. Kian gemetar. Ujung kakinya pun kehilangan rasa. Tak sakit saat dicubit, tak merasakan apa-apa.
Bertambah hari, sebetulnya bau mayat yang bergelimpangan kian menyengat. Randu dan Sanusi berkali-kali menggali lubang dan membakar tubuh mayat-mayat. Tetapi, tidak untuk kali ini. Rasa-rasanya, mereka berdua tak kuat menarik dan mengumpulkan banyak jenazah.
Apalagi persediaan ketela makin berkurang. Buah juga tak ada di hutan. Semua seakan berhenti. Seakan sengaja membiarkan Kampung Alas Melas serempak mati.
“Aku mau keluar dari sini, Wak,” ulang Randu Agung kembali.
Sambil menggali pohon ketela entah milik siapa, ia mengutarakan keinginanya keluar kampung.
“Aku tak mau mati sia-sia begini.”
Sanusi tak jawab. Kepalanya kian tertunduk memetik ketela. Sepertinya, ini ketela persediaan terakhir. Kalau tak ada, entah apa yang bakal ia makan. Hanya ada dua kemungkinan. Dia mati terserang penyakit atau mati kelaparan. Itu artinya, kematian benar-benar dekat padanya.