Hindari Sungai Tercemar, Perlu Deterjen Ramah Lingkungan
Editor: Satmoko Budi Santoso
JAKARTA – Kepala Dinas Lingkungan Hidup (Kadis LH) DKI Jakarta, Isnawa Adji, menjelaskan, busa di sungai muncul karena masyarakat Jakarta masih menggunakan deterjen keras.
“Rumah tangga banyak menghasilkan limbah domestik yang kemarin masuk ke saluran saluran dan berakhir di sungai kita,” kata Isnawa di Kali Sentiong, Kemayoran, Jakarta Utara, Rabu (2/1/2019).
Menurut Isnawa, deterjen keras mengandung bahan-bahan yang tidak mudah larut dalam air. Jenis ini pun sudah ditinggalkan negara-negara maju. Namun, Indonesia masih memperbolehkan penggunaan deterjen keras. Hal ini tercantum dalam Aturan SNI 4594 Tahun 2010 Tentang Deterjen Bubuk.
“Kita masih menggunakan batasan-batasan yang pada tahap deterjen yang digunakan pasti akan menghasilkan busa. Biasanya tidak ramah lingkungan,” ujarnya.
Isnawa menjelaskan, deterjen jenis ini memang rentan berdampak pada lingkungan. Dia pun membandingkan deterjen di Indonesia dengan negara lain.
“Di Australia, Malaysia atau negara lain itu, walau banyak deterjen dan busanya, tidak menghasilkan zat adiktif. Sehingga tidak berdampak pada masalah di lingkungan,” ucap Isnawa.
Bila merujuk aturan SNI 4594 tahun 2010, Isnawa menjelaskan, syarat mutu deterjen bubuk yakni kandungan pH larutan 1,0 persen sebanyak 9,5 sampai 11. Lalu, bagian tidak larut dalam air maksimal 10 persen, Kadar Surfactan minimal 14 persen, Biodegradasi Surfactan minimal 80 persen, dan Phosfat maksimal 15 persen.
“Jadi kalau kita bandingkan dengan negara-negara maju mereka sudah menggunakan yang namanya soft detergen, tidak ada kandungan fosfat. Di kita masih menggunakan batasan-batasan yang pada tahap deterjen yang digunakan pasti akan menghasilkan busa,” paparnya.