Surakarta

CERPEN ADI ZAMZAM

Yang dimaksud sebentar itu ternyata masih harus menunggu jeda waktu sekian kesabaran, hingga petunjuk itu akhirnya benar-benar diberikan.

“Hei kau yang dengan senang hati mencari petunjuk kebijaksanaan lewat puasa dan semadi, kau harus mengetahui mengapa sumber mata air yang telah kalian upayakan itu tak bisa disumbat. Lantaran ia terhubung langsung dengan Laut Selatan, maka sebanyak apa pun kalian memasukkan benda-benda ke sana, akan sia-sia juga akhirnya.

Tapi jika dirimu memang sungguh-sungguh berniat menyumbatnya, maka pakailah Gong Kiai Sekar Delima, daun lumbu, kepala ronggeng, dan bola mata orang, untuk menghentikan aliran airnya,” sebuah suara tanpa rupa memperdengarkan diri.

Ia tersentak bangun begitu ilham itu terasa nyata terdengar di telinga. Tak menyiakan waktu yang ada, lelaki itu pun segera menghadap susuhunannya.

Ketika ujaran itu mereka terjemahkan dengan hati tenang dan emosi yang bening, lelaki itu kemudian mendapatkan perintah susulan. Meski belum bisa menebak akhir lelakon yang ia jalani, tapi lelaki itu tetap berupaya memantapkan langkah.

“Andakah Kiai Gedhe Solo, sesepuh yang merupakan ahli waris desa ini? Saya ingin menyampaikan kepala ronggeng ini dari Susuhunan.”

Lelaki itu langsung menyampaikan amanat dari sang susuhunan begitu lelaki tambun bertubuh subur yang ia cari-cari akhirnya ketemu di ujung desa. Dengan suka cita sesepuh desa itu menerima uang sepuluh ribu ringgit sebagai ganti rugi dari Susuhunan. Ia bahkan berjanji akan turut membantu upaya penyumbatan mata air Tirta Amerta Kamandanu dengan menyepikan diri di makam Kiai Bathang.

“Kiai Bathang? Siapa dia, Ki? Mengapa harus semadi di sana?” tanya lelaki itu penasaran.

Lihat juga...