TAK seorang pun yang dapat mencium bau harum itu kecuali lelaki yang tengah bersemadi ini. Bau harum itulah yang kini tengah menuntunnya dari satu kejadian ke kejadian lain.
Membangunkan dengan pelan ingatan-ingatan yang telah tertimbun waktu. Menuntun penanya dengan khidmat, menulis huruf demi huruf, merangkai sebuah cerita abadi.
Dimulai dari keinginan Susuhunan Paku Buwono II yang ingin melepas diri dari kenangan kelam kehancuran istana Kartasura.
“Tinggal di sebuah tempat yang mengingatkan kita pada kesedihan-kesedihan di masa lalu hanya akan menambah aura gelap pikiran kita. Aku menginginkan daerah sebelah timur keraton lama. Kita akan membangun istana baru,” suara sang susuhunan itu mengiang dalam kesunyian semadi.
Tak lama setelah sunyi memberikan jeda, kemudian terdengar suara yang memperdengarkan diri lagi. Lelaki ini tentu saja masih ingat dengan para utusan susuhunan itu: sang patih luar Raden Adipati Pringgalaya, patih dalam Raden Adipati Sindureja, Residen Kompeni Johan Andries von Hohendroff, serta para ahli nujum keraton yakni Raden Tumenggung Hanggawangsa, Raden Tumenggung Mengkuyuda, serta Raden Tumenggung Puspanegara.
“Kami menemukan tiga lokasi yang kami kira amat cocok dengan keinginan Sinuhun…” suara salah seorang utusan itu.
“Yang pertama, Desa Kadipala. Tapi para ahli nujum tidak menyetujui. Lantaran formasi lokasinya yang datar dan kering, mereka membaca bahwa tempat itu akan cepat rusak dan runtuh meski akan menemukan fase kejayaannya juga.
Yang kedua, Desa Sana Sewu. Namun Raden Tumenggung Hanggawangsa berkeras menyingkiri tempat ini, lantaran dalam penglihatannya, keraton akan sering dilanda perang saudara dan sebagian besar penduduknya akan lari ke kepercayaan lama. Itu kemunduran namanya.